Saat ini kita kidup di era teknologi informasi dan komunikasi yang menawarkan berbagai kemudahan. Masyarakat Indonesia terutama generasi muda yang memanfaatkan internet juga mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Studi yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menemukan bahwa 98 persen dari anak-anak dan remaja tahu tentang internet dan 79,5 persen diantaranya adalah pengguna internet.
Sayangnya, sebagai generasi virtual, anak-anak muda kebanyakan memanfaatkan perkembangan teknologi ini untuk hal-hal yang kurang produktif. Kebanyakan dari mereka hanya menggunakan internet untuk berselancar di media sosial sehingga mereka menjadi sasaran dari konten-konten negatif yang bertebaran di dunia maya. Konten negatif yang saya maksud adalah berita hoax, pornografi, penyebaran paham radikalisme dan terorisme.
Generasi muda yang terbiasa berselancar di dunia maya menjadi kelompok yang paling rentan terpapar ideologi radikalisme. Bagi anak muda yang tidak memiliki literasi kritis dan paham keagamaan yang kuat akan mudah menjadi korban dari paham radikalisme tersebut. Tanpa berpikir panjang, kelompok generasi muda seperti ini biasanya dengan cepat terjerumus ke dalam paham yang justru menyesatkan.
Menurut Farrington sebagaimana dikutip Sugihartati (2021), ada sejumlah faktor yang menyebabkan remaja rawan tergoda paham radikalisme, dan bahkan ikut bergabung dalam aksi terorisme. Pertama, akibat kecerdasan yang rendah, pendidikan yang kurang, hiperaktif impulsif, bersikap anti sosial, agresif dan korban atau pelaku bullying.
Kedua, faktor keluarga. Hal ini terjadi karena rendahnya pengawasan orang tua terhadap anak, disiplin yang ketat, kekerasan pada anak, perilaku orangtua yang dingin atau cuek kepada anak, kurangnya perhatian orang tua kepada anak. Lalu, keluarga broken home, orangtua pelaku kriminal, dan habitus di mana anak muda tinggal bersama saudara mereka yang nakal atau yang berpotensi radikal.
Ketiga, faktor sosio-ekonomi, seperti pendapatan keluarga yang rendah dan banyaknya anggota keluarga juga mempengaruhi perkembangan radikalisme. Di samping, faktor teman sebaya, pertemanan yang nakal, menyimpang, penolakan dari pertemanan sebaya, dan kurangnya popularitas. Keempat, faktor lingkungan sekolah, seperti tingginya tingkat kenakalan sekolah, dan faktor tempat tinggal, seperti tingginya tingkat kriminalitas di lingkungan rumah.
Islam Wasathiyah
Kaum radikalis kontemporer meyakini tindakan mereka didasarkan pada ajaran agama. Padahal agama tidak pernah mengajarkan radikalisme dan terorisme. Bagaimana mungkin Islam membolehkan paham keagamaan yang menimbulkan ketakutan, menebar kebencian, dan pembunuhan.
Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam dewasa ini. Untuk menanggulanginya, keterlibatan berbagai pihak sangat diharapkan terutama peran lembaga pendidikan sangat berpeluang menjadi penangkal Islam radikal dengan cara menanamkan Islam yang ramah dan santun.
Syahrin Harapan (2017) menjelaskan, Islam datang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Tawaran kasih sayang Islam tidak saja dibicarakan dalam konteks intra kelompok dan komunitas. Sebab Allah meminta agar setiap orang Muslim tidak boleh marah kepada orang lain yang tak sepaham dan bahkan berbeda agama dengan mereka.
Perlu upaya untuk membumikan dan menyebarkan ajaran Islam yang penuh kasih sayang. Dalam konteks ini santri harus ambil bagian dalam mendakwahkan ajaran Islam rahmatan lil alamin. Indonesia sebagai negara Islam terbesar di dunia memiliki potensi menjadi barometer kekuatan Islam. Karena itu, tugas para santri adalah menyebarkan keindahan Islam moderat dengan konsep aswaja, yaitu al-‘adalah (keadilan), al-tawazun (keseimbangan), dan al-tasamuh (toleransi).
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyatakan, selain karena sikap moderasi adalah ajaran wahyu yang bersifat imperatif, khusus dalam konteks keindonesiaan moderasi juga merupakan ciri khas masyarakat dan budaya bangsa.
Islam hadir bukan hanya untuk umat Islam saja, tapi Islam ada untuk menebarkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta. Karenanya, nilai-nilai Islam moderat (wasathiyah) yang diperoleh oleh santri saat di pondok pesantren perlu dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang sudah ada sebelum bangsa ini merdeka diharapkan terus menyebarluaskan nilai-nilai moderasi Islam. Pesantren telah menerapkan moderasi Islam dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari. Di sini, santri memiliki tanggung jawab untuk mendakwahkan pemahaman keagamaan yang inklusif kepada masyarakat—khususnya generasi muda agar mereka tidak mudah mengamini paham keagamaan kaum radikalis yang dalam praktiknya justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Hermansyah Kahir (Belajar di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan)