Dalam sepekan ke depan, umat manusia akan memasuki bulan sya’ban. Bulan yang dinanti-nanti, karena didalamnya terdapat sejumlah keistimewaan yang ditunggu umat Islam. Ya, karena Sya’ban termasuk salah satu bulan yang dimuliakan Rasulullah SAW. Seperti apa?
Sya’ban adalah bulan kedelapan dalam penanggalan hijriah. Secara bahasa kata “sya’ban” mempunyai arti “berkelompok”. Nama ini disesuaikan dengan tradisi bangsa Arab yang berkelompok mencari nafkah pada bulan itu).
Sya’ban termasuk bulan yang dimuliakan oleh Rasulullah SAW, selain bulan yang empat, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Salah satu cara Rasulullah SAW memuliakan Sya’ban adalah dengan memperbanyak puasa.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dan Abu Dawud dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah menyatakan, Usamah berkata pada Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya’ban.” Rasul menjawab: “Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.”
”Usamah bin Zaid berkata, ‘Wahai Rasululllah aku tidak pernah melihat engkau berpuasa sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban. Nabi membalas, “Bulan Sya’ban adalah bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal.
Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Nasa’i)
Oleh karena itu, di bulan Sya’ban nanti, mari perkokoh keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Mumpung masih ada waktu, mumpung ada bulan Sya’ban yang penuh dengan keutamaan dan keistimewaan.
Kata “sya’ban” juga berasal dari kata syi’ab bisa dimaknai sebagai jalan setapak menuju puncak. Artinya bulan Sya’ban adalah bulan persiapan yang disediakan oleh Allah SWT, kepada hamba-Nya untuk menapaki dan menjelajahi keimanannya sebagai persiapan menghadapi puncak bulan Ramadan.
Meniti perjalanan menuju puncak bukanlah hal yang mudah. Minimal memerlukan persiapan-persiapan yang terkadang sangat melelahkan dan menguras energi. Ingatlah pekerjaan mendaki gunung yang mengharuskan berbagai macam pelatihan.
Begitu pula meniti langkah menuju puncak selama bulan Sya’ban, tentunya pendakian itu mengharuskan kesungguhan hati dan niat yang suci. Mendaki adalah usaha menuju yang lebih tinggi yang harus dilalui dengan susah dan payah. Kepayahan itu akan terasa ketika kita memilih berpuasa di bulan Sya’ban sebagai bentuk pendakian menuju puncak, persiapan menyambut bulan suci Ramadan.
Pendakian menuju puncak di bulan Sya’ban ini juga dapat dilakukan dengan cara banyak beristigfar dan meminta ampun atas segala dosa yang telah kita lakukan di bulan-bulan sebelumnya. Baik dosa yang kasat mata maupun dosa yang adanya di dalam hati dan tidak kasat mata, dan justru dosa terakhir inilah yang terkadang lebih menumpuk di bandingkan dosa kelakukan. Ujub, riya’ (pamer agar dilihat orang lain), sum’ah (pamer agar didengar orang lain), takabur, dan lain sebagainya.
Karenanya, jikalau sampai terbersit dalam hati sebagai manusia akan kepemilikan dan ke-aku-an, sadarlah bahwa itu adalah kesombongan dan ketakaburan. Apalagi jikalau perasaan itu disertai dengan kesengajaan menafikan Allah SWT maka segeralah bertobat.
Allah sendiri mengancam orang-orang seperti ini dalam Surat Thaha ayat 124, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
Dengan demikian, wajiblah setiap manusia itu selalu bersujud dan berbakti kepada Allah SWT setiap saat, setiap waktu. Semakin berpangkat, semakin pandai, semakin kaya, semakin berada, maka sujudnya harus semakin dalam dan penuh makna.
Karena itu, di waktu yang istimewa yakni bulan Sy’aban agar memperbanyak amal shaleh dan meminta pengampunan atau maghfirah-Nya, sehingga bisa sampai di puncak nanti sebagai insan yang siap menjalankan keinsaniahannya di depan Sang Khaliq. Wallahu a’lam bisshawab. sir,nuo