Kalau selama ini kita banyak menyaksikan hal yang kurang ideal dalam kehidupan, bisa jadi penyebabnya adalah karena kurang menyadari makna hidup. Bahkan kita kerap melakukan hal negatif bagi diri sendiri, keluarga dan lingkungan. Perbuatan dzalim dilakukan dikarenakan kurang memiliki kepedulian sekaligus kesadaran kolektif bahwa yang dilakukan hakikatnya kelak diminta pertanggung jawaban.
Dalam sebuah ayat disebutkan bahwa seseorang akan dihisab atas pendengaran, penglihatan dan hatinya sebagaimana ia akan dihisab atas seluruh anggota badannya. Karena hati adalah pemimpin anggota badan, maka perbuatan-perbuatan anggota badan mencerminkan apa yang ada di hati. Jika hati baik maka anggota badan menjadi baik dan jika hati rusak maka rusak pula anggota badan. Hati tidak akan menjadi baik kecuali ketika bersih dari penyakit-penyakit dan disembuhkan dari penyakit-penyakit tersebut.
Di antara penyakit hati yang dilarang dalam ayat-ayat tersebut adalah bersikap takabur terhadap para hamba Allah. Oleh karenanya, jangan sampai kita berjalan dengan gaya jalan penuh dengan kesombongan, karena kita tidak akan menembus bumi dengan injakan dan kuatnya pijakan kaki kita. Kita juga tidak akan mencapai ketinggian gunung dengan kesombongan kita dan tidak akan menyamai kekuatan dan kekokohan gunung tersebut.
Perlu diketahui bahwa takabur adalah seperti ditegaskan oleh Nabi Shallallahu Aalaihi Wasallam bahwa takabur adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Dan berdasarkan hadits ini, orang yang takabur ada dua macam: Pertama, seseorang yang menolak kebenaran yang disampaikan orang lain, padahal ia tahu bahwa kebenaran ada pada orang tersebut. Ia menolaknya karena orang yang menyampaikan kebenaran itu lebih muda darinya atau lebih rendah kedudukannya, sehingga merasa berat untuk mengikuti kebenaran itu.
Padahal, Fir’aun tidaklah binasa kecuali karena sifat takaburnya. Fir’aun telah melihat sekian banyak mukjizat Nabi Musa Alaihissalam, namun tidak beriman. Bahkan Haman, perdana menteri Fir’aun ketika itu berkata kepada Fir’aun: Jika engkau beriman kepada Musa, maka engkau akan kembali menjadi hamba yang menyembah, padahal selama ini engkau sudah menjadi tuhan yang disembah.
Demikian pula Bani Isra’il yang diutus kepada mereka Nabi Isa Alaihissalam. Setelah mereka melihat mukjizat Nabi Isa, tidak ada yang membuat mereka tidak beriman kecuali sifat takabur. Mereka selalu mengatakan bahwa jika beriman, maka akan lenyaplah kehormatan dan kekuasaan mereka. Demikian pula Abu Lahab dan tokoh-tokoh kafir Quraisy. Setelah mereka melihat mukjizat Al-Qur’an dan mengakui bahwa kalam ilahi tersebut tidak seperti puisi dan prosa yang mereka kenal, tidak ada yang membinasakan dan membuat mereka tidak beriman kecuali sifat takabur.
Sedangkan jenis kedua dari orang takabur adalah seseorang yang menganggap dirinya memiliki keistimewaan yang melebihi orang lain. Ia melihat dirinya dengan pandangan kesempurnaan dan penuh kebaikan. Ia lupa bahwa itu semua sejatinya adalah pemberian Allah kepadanya. Dengan itu, ia lalu bersikap congkak kepada sesama hamba Allah dan merendahkan mereka, karena –menurutnya- ia jauh lebih tinggi martabatnya, lebih banyak hartanya atau lebih tampan daripada mereka.
Penyakit Semua Kalangan
Merendahkan orang lain tidak hanya bisa dilakukan oleh orang kaya dan penguasa saja. Sebaliknya bisa juga dilakukan oleh siapa pun. Seorang suami bisa saja menganggap istrinya tidak memahami suatu persoalan, sehingga dia merendahkan istrinya dalam hatinya dan berperilaku sombong kepadanya tanpa ia sadari. Seorang ayah bisa saja menganggap anaknya lebih rendah darinya dalam pengetahuan dan pengalaman, sehingga ia merendahkan anaknya dalam hatinya tanpa ia sadari. Seorang guru bisa saja menganggap murid-muridnya berada di bawahnya dalam hal ilmu dan pemahaman, sehingga ia merendahkan mereka dalam hatinya tanpa ia sadari.
Allah telah melarang sifat takabur terhadap sesama hamba. Saat mengisahkan nasihat Lukman kepada anaknya, Allâh berfirman:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ.
Makna ayat ini, janganlah engkau berpaling dari mereka dengan bersikap sombong, menghadaplah kepada mereka dengan mukamu, jangan engkau hadapkan kepada mereka separuh bagian mukamu dan pipimu seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang bersikap congkak dan sombong. Jangan engkau berjalan dengan gaya jalan yang penuh kesombongan, kecongkakan dan rasa bangga diri. (QS. Luqman: 18)
Virus takabur ini jangan sampai menyerang hati kita. Virus takabur ini jangan sampai merusak hati kita. Marilah kita berintrospeksi, kita teliti hati kita masing-masing. Jika telah muncul sedikit saja virus menyombongkan harta pada hati kita, hendaklah mengingat Qarun. Qarun yang kunci gudang-gudang tempat penyimpanan hartanya, baru bisa diangkat oleh sejumlah orang yang berbadan kuat, bukankah ia dan seluruh hartanya dibenamkan ke dalam bumi? Kesombongannya tidak dapat menyelamatkannya.
Jika dalam hati kita telah muncul sedikit saja virus membanggakan kekuasaan dan jabatan yang kita miliki, hendaklah kita renungkan kisah Fir’aun. Fir’aun pada akhir hayatnya tenggelam dan binasa di dalam air dan tidak bermanfaat baginya kerajaan dan pasukan-pasukannya. Apakah pantas kita membanggakan kekuatan? Tidak. Karena sakit gigi saja akan membuat kita terbaring tidak berdaya di tempat tidur. Apakah pantas kita membanggakan ilmu yang kita kuasai? Tidak. Sungguh ilmu yang kita miliki bukanlah berasal dari diri kita pribadi, melainkan hasil jerih payah para ulama sebelum kita.
Kita sama sekali tidak pantas menyombongkan dan membanggakan diri, karena pada hakikatnya permulaan diri kita adalah air mani yang menjijikkan dan akhir diri kita adalah seonggok bangkai. Sekuat apa pun, sehebat apa pun, sekaya apa pun, sekuasa apa pun, setinggi apa pun jabatan seseorang, suatu saat nanti pasti ia akan dikalahkan oleh kematian.
Seseorang yang selalu memantau dan mengawasi hatinya serta terus menerus berusaha untuk menghindarkannya dari virus takabur, maka ia akan meyakini bahwa kecerdasan, ilmu, harta dan jabatannya, sejatinya bukanlah berasal dari dirinya. Tapi itu semua adalah karunia yang Allah anugerahkan kepada dirinya. Oleh karenanya, hendaklah ia bersyukur kepada Tuhan-nya, mengasihi orang yang di bawahnya dan hendaknya bersikap tawadhu’ (rendah hati), karena tawadhu’ termasuk di antara jenis ibadah yang paling utama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إِنَّكُمْ لَتَغْفُلُوْنَ عَنْ أَفْضَلِ الْعِبَادَةِ التَّوَاضُعِ
Sungguh kalian telah melalaikan salah satu bentuk ibadah yang paling utama, yaitu tawadhu’ (bersikap rendah hati). (HR Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Amali).
Nabi bersabda demikian, tidak lain karena banyaknya orang yang terserang virus takabur. Seandainya semua orang bersikap rendah hati (tawadhu’), niscaya akan sirna dari tengah-tengah mereka sekian banyak kebencian dan permusuhan, akan hilang rasa iri dan dengki. Mereka akan terhindar dari lelahnya persaingan, upaya bermegah-megahan dan saling membanggakan diri, dan mereka akan menikmati apa yang telah Allah karuniakan untuk mereka.
Kalau selama ini kita menyaksikan manusia bahkan diri sendiri bersikap takabur, sombong, angkuh, tak mau dikritik dan sejenisnya sadarlah. Karena apa yang dimiliki saat ini dapat lenyap seketika bila Allah SWT menghendaki. Kecelakaan dan kenispaan yang menimpa sebagian kita adalah karena sejak awal tidak memiliki kesadaran atau lupa akan keterbatasan diri. Bahwa apa yang melekat pada diri kali ini adalah titipan yang dapat saja segera dicabut, sehingga kita tidak berdaya.
Betapa banyak contoh yang membenarkan akan hal ini. Karenanya jangan sampai kejadian yang menimpa umat terdahulu akhirnya juga ditimpakan kepada kita lantaran tidak memiliki kepekaan dan kepedulian dengan keberadaan diri. Kadang kita lupa dan layak untuk diingatkan bahwa apa yang ada saat ini merupakan aksesoris sementara dan dalam sekejap mata dapat hilang tanpa bekas. Lantas bila kemudian itu terjadi, apa yang akan kita sombongkan? Yang terjadi bisa saja kita malu dan kehilangan muka dengan keangkuhan yang ada dalam diri. Sekitar kita akan mencibir saat segala jabatan dan kebesaran tersebut dicabut oleh Allah SWT.
Betapa indah dan mendamaikan kalau dalam hidup diisi dengan sifar rendah hati walau sedang memiliki aneka kelebihan. Kita sadar bahwa beragam kurnia tersebut justru hendaknya dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih bermanfaat untuk orang lain. Karena yang kita akan petik dan panen kelak adalah sesuai dengan kebaikan yang disebarkan saat ini. Jangan pernah ada penyesalan karena hal tersebut tentu saja tidak akan berguna.
Kita sudah ada di zaman akhir, karenanya yang harus dilakukan adalah memenfaatkan sisa usia dengan kiprah terbaik. Pastikan usia yang masih ada dengan kelebihan yang dimiliki untuk didermabhaktikan bagi kebaikan, bukan sebaliknya. Apalagi kita yakin akan dibangkitkan kembali di hari pembalasan dan mempertanggung jawabkan segala amal perbuatan saat di dunia. Kalau baik, tentu akan panen kebaikan dan demikian pula sebaliknya.