Search

Pelatihan Bimbingan dan Konseling Multibudaya pada Masa Pandemi Covid-19 bagi Guru

Di tengah pandemi Covid-19 hampir semua jenjang sekolah diharuskan melakukan pembelajaran secara daring. Hal ini menuntut kita untuk beradaptasi dengan segala perubahan nilai dan budaya yang terjadi di segala aspek kehiduapan termasuk pada aspek pendidikan. Tidak semua siswa dapat menjalankan pembelajaran daring dengan mudah. Mulai dari kesulitan secara teknis hingga keterbatasan untuk dapat bertatap muka dengan guru yang dialami siswa, membuat siswa harus lebih berusaha mandiri dalam memahami materi dan mengerjakan tugas. Dalam hal ini, guru dapat berperan untuk membantu siswa membangun kesadaran baru agar dapat menerima, menghargai dan beradaptasi dengan budaya baru yang disebut “new normal”.

Dalam pelatihan “Bimbingan dan Konseling Multibudaya pada Masa Pandemi Covid-19 bagi Guru di SD Namira School Kraksaan Probolinggo”, Dr. Najlatun Naqiyah, M.Pd., menyampaikan bahwa bimbingan dan konseling multibudaya merupakan salah satu bantuan yang dapat diberikan kepada siswa untuk memperoleh kesadaran budaya sehingga siswa dapat memiiki kepekaan atau respect terhadap budaya diri sendiri dan budaya orang lain. Bimbingan konseling multibudaya memiliki beberapa manfaat bagi guru dan siswa seperti membantu siswa bersosialisasi dengan lingkungannya yang beragam, mudah beradaptasi dengan lingkungan seperti yang sedang dialami siswa saat ini yaitu beradaptasi dengan era new normal, serta membantu siswa memaksimalkan potensi diri tanpa rasa takut berbeda budaya.

Bimbingan dan konseling multibudaya di Sekolah Dasar dilaksanakan oleh wali kelas atau guru mata pelajaran. Sehingga wali kelas atau guru mata pelajaran juga perlu memperhatikan kode etik konselor multibudaya. Di antaranya ialah jujur dan tulus dalam bersikap, tidak memaksakan nilai-nilai yang dianut pada siswa, memberi perhatian secara empati, membantu mengenali nilai-nilai hidup yang diyakini siswa, membantu siswa untuk dapat mengemukakan pendapatnya secara terbuka dan penuh penghargaan, mendorong siswa melakukan penilaian terhadap perilaku mereka sendiri, jika memberikan penilaian pada siswa maka memberi nilai pada perilaku bukan terhadap individu, dan sebagainya. Guru dapat menghindari memberi label atau nilai baik buruk kepada siswa dengan lebih banyak berdialog dengan siswa hingga siswa dapat berfiki dan menyadari perilakunya sendiri.

Isu dalam multibudaya terdiri dari tiga hal yaitu, bagaimana pengetahuan atau cara pandang siswa yang berbeda budaya, bagaimana kepekaan siswa terhadap cara pandang orang lain, serta keahlian untuk menangani siswa dari budaya yang berbeda dengannya.

Terdapat beberapa macam teknik konseling multibudaya. Di antaranya adalah model berpusat pada budaya, model integratif, dan model entomedikal. Model berpusat pada budaya berfokus pada budaya yang dianut oleh siswa dengan mengeksplor bagaimana nilai-nilai budaya serta pengalaman hidup siswa, sehingga guru dapat berdiskusi bagaimana kesadaran budaya yang dimiliki siswa. Model integratif dilaksanakan dengan mengintegrasikan budaya-budaya yang ada di lingkungan. Sedangkan metode etnomedikal, berfokus pada penyakit atau gangguan yang dialami siswa kemudian melihat unsur budaya yang dapat menjadi cara recovery siswa.

Walaupun terdapat keterbatasan yang dialami guru dalam melaksanakan bimbingan dan konseling maupun pembelajaran di masa pandemi, namun guru harus beradaptasi dengan budaya dan kebiasaan baru agar dapat tetap membantu siswa dalam menanamkan moral dengan keterampilan yang dimiliki guru, misalnya dengan melakukan one on one atau kunjungan rumah, bertatap muka secara daring, membuat jurnal keseharian yang dapat diisi oleh siswa dan sebagainya.

Baca Juga:  Pesantren dan Penguatan Literasi Keuangan Syariah

Lebih lanjut mengenai keterampilan guru dalam melaksanakan konseling multibudaya, Ari Khusumadewi, S.Pd., M.Pd., dalam pelatihan “Bimbingan dan Konseling Multibudaya pada Masa Pandemi COVID-19 bagi Guru di SD Namira School Kraksaan Probolinggo” menyampaikan bahwa keterampilan multibudaya bertujuan untuk meningkatkan keterampilan mengenai layanan sosial, culture shock, dan tekanan alternatif, memahami bagaimana anggota budaya lain menginterpretasi peraturan adat dan hukum, serta untuk memahami komunikasi verbal dan non verbal dalam budaya lain dan perbedaan lintas budaya.

            Cultural skill dibagi menjadi 7 aspek yang tergabung menjadi akronim RESPECT, yaitu:

  1. Recognize your comunication style, yang dapat diterapkan dengan empat jenis kegiatan. Pertama, attending, hal yang perlu diperhatikan dalam attending ialah ekspresi wajah, postur tubuh saat melakukan konseling, gerak tubuh, tingkah laku, dan penggunaan bahasa. Siswa pada tingkat Sekolah Dasar umumnya lebih ekspresif dalam berkomunikasi. Misal, jika ia sedang bingung maka ekspresi wajah dan gesture tubuhnya akan mengikuti keadaan atau perasaan yang sedang dialami. Kedua membuat pertanyaan. Ketiga, parafrase, yaitu keterampilan bahasa yang dilakukan dengan cara mengatakan kembali kata-kata atau pikiran pokok siswa. Sedangkan keempat ialah refleksi yang merupakan keterampilan yang menyatakan pesan aspek emosional.

Di masa pandemi Covid-19 ini, menjalin komunikasi antara guru dan siswa dapat dilakukan dengan mendesain pembelajaran dengan memperbanyak sesi diskusi dengan siswa. Sehingga siswa dapat lebih mengenal guru dan temannya dengan baik. Karena kepercayaan siswa kepada guru akan terbentuk jika antara guru dan siswa terjalin hubungan yang baik.

Selain itu, pemberian pembelajaran sebaiknya tidak hanya dengan memberi tugas tetapi dapat mencari pembelajaran yang memungkinkan adanya komunikasi atau memberikan penugasan yang jangkanya lama sehingga perlu adanya pola komunikasi dengan guru dan siswa.

  1. Empatize with the experience of others and speak from your own experiences. Empati merupakan proses proses kejiwaaan seorang individu yang larut dalam perasaan orang lain baik suka maupun duka, dan seolah olah merasa ataupun mengalami apa yang dirasakan atau dialami oleh orang lain. Dalam empati, selain turut merasakan perasaan yang dialami orang lain, juga terdapat tindakan yang dilakukan. Misalnya, ketika siswa merasa sedih guru dapat mendampingi siswa sembari menepuk pundak siswa sehingga siswa lebih merasa dipahami.
  2. Participate in the process by listening of well as speaking. Mendengarkan merupakan keterampilan yang terlihat mudah. Namun, mendengarkan di sini ialah mendengarkan secara utuh mulai dari kontak mata, pikiran yang terbuka, melakukan visualisasi, memperhatikan bahasa tubuh, dan bertanya. Keterampilan mendengarkan sangat penting untuk memahami informasi, membangun hubungan dengan orang lain termasuk siswa, dan sangat berkaitan dengan kemampuan menyelesaikan masalah.
  3. Examine your own assumption and perceptions.
  4. Confidentiality atau kepercayaan merupakan rasa mau menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perilaku yang baik dari orang lain. Kepercayaan dapat diperoleh dengan belajar terbuka pada diri sendiri dan orang lain, menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri, memahami kekurangan dan kelebihan orang lain, serta menjaga rahasia. Seperti contoh, ketika siswa mau untuk menceritakan mengenai dirinya yang ingin ia rahasiakan dari orang lain namun ia mau menceritakannya pada guru, maka guru juga harus menjaga kepercayaan siswa tersebut.
  5. Take responsibility for yourself and what you do. Bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan apa yang telah dilakukan merupakan keterampilan yang perlu dimiliki dalam melakukan konseling multibudaya sehingga guru dapat memperoleh kepercayaan dari orang lain termasuk siswa.
Baca Juga:  Memajukan Lembaga Keuangan Mikro Syariah

 Selain dalam bimbingan dan konseling, perbedaan nilai dan budaya dapat direfleksikan sebagai bahan ajar mata pelajaran, seperti pada mata pelajaran Matematika. Sehingga kepekaan nilai dan budaya pada siswa dapat lebih terasah. Seperti pada pelatihan “Bimbingan dan Konseling Multibudaya pada Masa Pandemi Covid-19 bagi Guru di SD Namira School Kraksaan Probolinggo”, Neni Mariana, Ph.D. menyampaikan bahwa Paul Ernest berpendapat bahwa Matematika tidak bebas nilai, Matematika memiliki nilai-nilai baik atau internal values namun juga dapat disisipi nilai-nilai baik dari luar atau external values. Misalnya, ketika guru memiliki budaya yang melekat pada dirinya, maka dapat diamsukkan dan dikemas dalam pembelajar Matematika, sehingga Matematika tidak hanya sekedar membahas sesuatu yg abstrak.

Matematika berbudaya atau multikultural telah dikemas oleh D’Ambrosio dalam studinya yaitu Ethnomatematics yang ditemukan secara natural ada dalam praktik-praktik kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat. Jadi penggalian aspek multikultural ini sangat penting untuk memberikan konteks pembelajaran yang bermakna untuk siswa. Selain itu terdapat teori mengenai Realistic Mathematics Education oleh Hans Freudenthal. Ia mengatakan pada salah satu pendapatnya yang terkenal bahwa, Matematika merupakan aktivitas manusia. Matematika dibentuk dan dsepakti selaras dengan perkembangan dan peradaban manusia. Matematika tidak berdiri sendiri, melainkan terdapat kebutuhan dalam peradaban manusia terhadap matematika.

Terdapat 5 kerangka kerja dalam refleksi budaya, yaitu:

  1. Cultural self knowing (Self realization) / Pengetahuan terhadap Kultur Diri

Ketika kita melakukan refleksi terhadap kebudayaan yang kita miliki, kita harus mengenali terlebih dahulu diri kita, nilai-nilai baik apa yang selama ini kita anut, kebudayaan apa yang mendominasi diri kita, serta apa sumbangsih dari kebudayaan tersebut terhadap peran kita sebagai guru.

  1. Relational knowing (Opening to difference)

Terbuka terhadap perbedaan.

  1. Critical knowing (Political awareness)

Dalam proses cultural self knowing juga diperlukan critical knowing. Guru harus secara kritis melihat, apakah pendidikan yang selama ini dilakukan di sekolah telah membumikan atau menerapkan visi misi dari sekolah tersebut, attau selama ini visi-misi tersebut hanya sebagai label saja.

  1. Visionary and ethical knowing (Over the horizon of thinking)

Ketika kita telah mengkritisi diri kita sendiri, kemudian kita perlu melakukan perubahan yang visioner. Bahwa ketika mengajar, tidak hanya sekedar mengajar, namun juga memiliki visi dan misi sebagai guru, memiliki kode etik sebagai guru yang diterapkan di setiap pembelajaran yang dilakukan.

  1. Knowing in action (Making difference)

Ketika telah dilakukan perubahan yang visioner, diharapkan terdapat aksi dan tindak lanjut yang dilakukan sehingga tidak hanya berhenti pada saat kegiatan pelatihan.

Baca Juga:  ISNU dan CIC: Mau Apa?

Kita harus menyadari bahwa setiap individu ialah multikultural. Misal ketika seseorang memiliki nilai atau budaya yang melekat. Seperti orang muslim, maka dilihat dari agama orang tersebut memiliki nilai-nilai keislamaan. Orang jawa, maka dapat merefleksikan pada diri seperti nilai-nilai baik apa pada kultur jawa yang sudah diterapkan, apakah sudah menerjemahkan nilai atau budaya tersebut pada pembelajaran yang disampaikan. Nilai kebangsaan Indonesia, ketika berada di luar negeri dan bertemu dengan orang sesama Indonesia akan jadi bahagia. Walaupun memiliki nilai-nilai yang bersifat kearifan lokal, juga perlu direfleksikan apakah ketika menjadi bagian dari masyarakat internasional, kita dapat menyadari mana budaya yang perlu kita terapkan, mana yang perlu kita filter kembali.

Hal yang perlu dilakukan dalam proses refleksi budaya yang pertama ialah mengenali terlebih dahulu kultur yang dianut oleh diri guru dan sekolah, kemudian melihat apakah kultur tersebut dapat diterapkan dalam pembelajaran Matematika maupun mata pelajaran lain, sehingga hal ini akan memunculkan pembelajaran berbasis budaya yang tepat untuk sekolah. Contohnya, dalam konteks pembelajaran Matematika seperti pada materi persen, siswa seringkali terbiasa mendapatkan soal cerita mengenai belanja dan diskon. Secara tidak sadar apa yang diberikan guru kepada siswa akan membentuk habbit dan mindset pada siswa kepada hal-hal yang bersifat hedonis atau konsumtif. Maka dalam hal ini, guru dapat mencoba mengalihkan pembelajaran Matematika ke konteks yang lebih baik, misalnya dalam agama islam terdapat zakat, guru dapat menggunakan konteks tersebut. Dalam Nasrani, terdapat persepuluhan, hal ini juga dapat dijadikan konteks pembelajaran Matematika.

Selain dengan konteks agama, isu lingkungan juga dapat dikaitkan dengan pembelajaran Matematika. Misalnya berapa tahun sampah plastik mie instan dapat melebur, atau mengenai social justice antara si kaya dan miskin sehingga membuat siswa mau belajar berbagi dan membantu sesama, sehingga konteks pembelajaran Matematika tidak hanya sekedar menghitung permen dan sebagainya, namun juga menghitung berapa jumlah sedekah yang sudah dikeluarkan hari ini. Sehingga terdapat misi yang diselipkan dalam pembelajaran yang selaras dengan  misi sekolah untuk menjadikan siswa kholifatul ard’ atau pemimpin di muka bumi.

Penulis adalah Dr Najlatun Naqiyah MPd dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan Nabila Hamzati, Mahasiswa Unesa.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA