Search

Cetak Santri Generasi Quran

Banyak orang berpendapat, berdakwah hanya bisa dilakukan dengan cara tatap muka atau face to face. Padahal, berdakwah bisa dilakukan lewat media sosial. Seperti yang dilakukan Hafshah Al Ahla dan saudara-saudaranya.

Ning Hafshah sapaan akrabnya mengatakan, di zaman serba teknologi ini, media sosial bisa dimanfaatkan oleh siapa pun, termasuk para nawaning dan santri umumnya. Manfaatnya untuk menyebarkan sayap dakwah, menjangkau lebih banyak orang, dan menyebarkan ilmu kepada orang yang belum berkesempatan belajar di pesantren.

“Zaman sudah berubah, semua orang bisa menggunakan media sosial. Ini peluang untuk para nawaning dan santri agar lebih gencar menyebarkan dakwahnya. Caranya, ya bikin konten positif, yang bisa menambah keilmuan masyarakat. Kemasan konten pun juga tidak harus serius, bisa menggunakan konsep yang santai. Kembali kepada orang yang bersangkutan saja. Asal memberikan nilai positif bagi banyak orang,” tuturnya.

Baca Juga:  Hj Maria Ulfah Anshor Jaga Martatabat Perkawinan

Putri dari KH. Abdullah Kafabihi Mahrus, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri itu mengungkapkan memiliki keinginan mewujudkan generasi santri yang bernafaskan seni Al-Quran. Menurutnya, mewujudkan generasi Quran juga berarti belajar dengan Al-Quran. Belajar memahami kandungan-kandungan Al-Quran, dan tidak salah mengartikan Al-Quran.

“Pentingnya santri bisa membaca Al-Quran, untuk menjalin hubungan kita kepada Allah SWT, karena bila hubungan kita baik tentu akan dijaga oleh Allah. Contohnya saja, banyak orang mencari hiburan dengan biaya mahal, itu tidak menjamin hidupnya akan selalu bahagia. Tapi, bila membaca Al-Quran, akan lebih terjamin kehidupannya, bikin hati tenang dan perilakunya semakin baik,” ungkapnya.

Menurutnya, perlu ditanam dalam diri santri tentang prinsip kepesantrenan. Contoh, di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-aat Al-Qur’aniyyah (HMQ) Lirboyo, selain santri harus getol hafal Al-Quran, santri juga ditangani oleh ahlinya. “Menanamkan prinsip kepesantrenan menjadi bekal mereka kelak jika terjun dalam masyarakat. Mereka harus bisa membaca Al-Quran dengan benar. Karena kalau bergelut dengan Al-Quran, langkah awal harus bisa membaca, selanjutnya menyempatkan untuk berguru,” imbuhnya.

Baca Juga:  Mieke Wijaya - Perginya Artis Kawakan

Pesantren Tahfidz

Memajukan pesantren tahfidz memang tidaklah mudah. Karena dibutuhkan kesabaran dalam mendidik para santri. Selain itu, pesantren tahfidz yang baik minimal menyelenggarakan kegiatan kajian ilmu, yaitu ilmu hal (tingkah laku). Bahkan menurutnya sangat langka menemui pesantren tahfidz yang menuntut santrinya faham akan makna setiap ayat Al-Quran.

“Di Madrasah Murottil Quran, tempat saya bejalar tidak ada progam seperti itu. Santri yang sudah mengejar setoran tentu tidak berhenti pada titik itu saja. Ada hal lain yang perlu dilakukan, yaitu mengembangkan dengan Ilmu Tafsir atau Ulumul Quran dan yang lainya. Maka itu lebih baik,” tegas perempuan kelahiran Kediri, 1 Oktober 2001 ini.

Di samping itu, Ning Hafsah yang baru menikah pada 13 Februari lalu dengan Habib Ali Zainal Abidin, putra KH Abdurrahman Bin Yahya almarhum dari Majalengka itu, berharap ke depan bisa terus mengamalkan ilmu dan menjadi calon madrasah yang baik bagi anak-anaknya kelak.

Baca Juga:  Ganti Nama Usai Cerai

”Jadi saya ingin sekali Insyaallah mewujudkan keinginan orang tua dengan mencetak generasi solihin solihat yang berbasis pesantren. Berusaha untuk selalu menjadi wanita yang tangguh, tanggung jawab dengan tuntutan masa depan. Tentunya dengan selalu belajar dan tak pernah berhenti untuk berbenah,” tuturnya.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA