Search

Mega Project Bhineka Tunggal Ika: Perawatan Toleransi Dalam Pendidikan Berbasis Rumah Tangga

Negara Indonesia dibangun atas dasar keimanan dan solidaritas tinggi dari berbagai macam suku, ras dan berbangsa-bangsa yang maksudnya adalah terdiri dari berbagai pulau. Semangat solidaritas apabila tidak didasari atas kesepahaman dari berbagai karakter antar individu maupun kelompok. Sehingga tingkatan paling tinggi dalam menyelaraskan kesepahaman disini adalah majunya proses pendidikan yang mengedepankan moral. Sebagaimana Pancasila yang diungkapkan oleh Muhammad Hatta juga menjelaskan atas dua fundament yang ada di Pancasila. Salah satunya adalah fundament moral yang didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Soeprapto, 2013).

Salah satu suksesor terbesar atas keutuhan dan kebesaran negara Indonesia sampai saat ini adalah pendidikan sebagai pemeran utama. Selain menjadi pemeran utama, pendidikan juga menjadi penyelamat atas estafet pemegang kuasa keutuhan negara ini. Sehingga masyarakat sebagai penanggung jawab terbesar atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah melakukan pengembangan (inovasi) hingga perawatan (maintenance).

Dewasa ini, konfrontasi identitas adalah hal yang paling strategis dalam memicu panasnya problem keberagaman(Lestari, 2016). Sehingga perlu adanya pengawasan dan perawatan intensif atas kebhinekaan sebagai warisan negara ini. Salah satu cara mewariskan yang mumpuni dan efektif adalah melalui pendidikan yang berjangka panjang. Karena pendidikan adalah usaha untuk membentuk karakter manusia agar menjadi lebih baik. Melalui proses pembelajaran adalah bentuk ikhtiar doktrinnya.

Pola Pendidikan Toleransi Dalam Rumah Tangga

Anak adalah salah satu generasi penerus keluarga. Sebagaimana pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, maka faktor genetik sebagai posisi utama karakter anak adalah orang tua itu sendiri. Juga demikian tidak kalah pentingnya dengan faktor eksternal seperti sekolah, lingkungan bermain hingga lingkungan keluarganya. Prediksi akurat dapat dilihat pula melalui letak Kesehatan atau kebaikan cara belajarnya. Apabila lingkungan keluarga, bermain hingga sekolah kurang mendukung atas perkembangan belajar anak, maka dapat dipastikan pendidikan baginya dinilai tidak sukses (Hidayati, 2016).

Sabda Rasulullah Saw mengenai,”Orang tua adalah madrasah pertama bagi anak”. Merupakan hal yang logis. Bukan berarti orang tua bertanggungjawab secara materi, bertanggungjawab atas menyekolahkan saja, melainkan juga mereka tidak akan pernah menginginkan anaknya gagal dalam berkarir maupun melangsungkan kehidupan semasa dewasanya kelak.

Hidup bergantung terhadap orang lain merupakan wajar. Sebagaimana manusia sebagai makhluk sosial(Hantono & Pramitasari, 2018). Artinya, mereka juga memerlukan interaksi sekecil apapun terhadap orang lain. Dia tidak akan pernah bisa menghindari dan tebang pilih dalam berinteraksi. Seyogyanya mereka melangsungkan transaksi jual beli, menggunakan fasilitas publik, sekolah, hingga kebutuhan lainnya. Juga mereka akan dihadapkan oleh berbagai macam petugas yang terkait.

Seyogyanya mereka perlu menyiapkan beberapa kompetensi moral dalam memberikan jaminan atas berlangsungnya aktivitas interaksinya. Sebab interaksi di ruang publik merupakan interaksi dua arah hingga multi arah (Romli, 2015). Beberapa persiapan tersebut juga perlu didasari atas dasar pondasi yang kuat. Salah satu contohnya ketika penulis berangkat umrah, penulis merasa kesulitan ketika hilang arah dimana letak hotel sebagai tempat penginapan saya. Saya sebagai pelaku tidak akan mungkin bertanya kepada orang yang sesama warga negara lain, peluang untuk mengetahui lokasinya sangat kecil. Sehingga juga memerlukan komunikasi kepada para mukimin yang ada disekitar agar diberi tahu letak hotel yang benar. Ini menunjukkan kualitas manusia akan semakin berkembang dan maju apabila mereka mau menselaraskan kesepahaman baik bahasa, karakter, budaya hingga corak hidupnya.

Baca Juga:  Anwar Usman Tak Ada Pembocoran Putusan

Sebagaimana penulis menyampaikan pendidikan moral secara dasar dimulai dari sisi informal atau keluarga, keluarga disini yang memiliki tanggungjawab penuh atas kesuksesannya adalah orang tua (ayah dan ibu). Sehingga menjadi urgen bagi orang tua untuk melakukan pendekatan, pembiasaan dan transfer of knowledge.

Pendekatan, adalah sebuah cara utama untuk mengetahui kegemaran hingga bakatnya (Hyoscyamina, 2011). Sebagaimana seorang anak yang baru lahir bak kertas putih yang perlu dilukis seindah mungkin oleh orang tuanya. Dominasi dalam mendidik anak oleh orang tua perlu kiranya menjadi prinsip utama. Sehingga rasa cinta seorang anak terhadap orang tua, menanamkan ekspresi hormat kepada yang lebih tua terutama orang tuanya sendiri, hingga beberapa pembiasaan yang lain yang membawa dampak manfaat bagi masyarakat sekitar maupun luas.

Dominasi dalam mendidik, apabila diupayakan secara maksimal dengan cara memberikan perhatian yang lebih serta beberapa pelatihan yang mampu mengatasi tantangan hidup(Gharabaghi, 2011), salah satunya adalah bagaimana anak dapat belajar cepat untuk memahami beberapa kelebihan, kelemahan hingga karakter masyarakat luar. Kurikulum khazanah kebhinekaan menjadi pendidikan wajib bagi orang tua untuk memperkenalkan kekayaan budaya masyarakat Indonesia. Selain menumbuhkan rasa cinta terhadap negaranya, juga sebagai upaya perawatan inventaris tradisi dan budaya bangsa. Sebagaimana mengembalikan Kembali marwah budaya bangsa pada zaman dahulu seperti beberapa lagu nasional, lagu-lagu daerah, hingga beberapa tarian tradisional merupakan cara orang tua memperkenalkan dengan berbagai cara media yang ada dirumahnya.

Dengan bangga atas khazanah tradisi lokal, bukanlah hal yang final. Melainkan orang tua juga perlu memberikan wawasan toleransi dalam keberagaman. Kompetensi afektif dapat diraih dengan cara penumbuhan rasa keberagaman, bukan rasa kompetisi. Sebagaimana daerahnya yang lebih baik daripada lainnya. Embrio yan seperti itu apabila dibiarkan, memberikan celah bagi kekurangan dalam pendidikan. Rekonstruksi atas definisi ini menjadi tumpuan yang perlu diperhatikan bagi orang tua. Sehingga budaya lokal disekitarnya bukanlah menjadi alat untuk menyerang dan melemahkan budaya lain, sehingga pengembangan budaya lokal merupakan bukti cinta tanah air dengan mengedepankan promosi atas kearifan lokalnya(Akhirin, 2014).

Baca Juga:  M Nabil Haroen Tugas Pendekar di Tahun Politik

Kesalehan Nasional Sebagai Suksesor Pendidikan Kebangsaan Bertaraf Kebhinekaan

Demikian juga selayaknya metode pendidikan diatas dengan beberapa poin yang dapat diambil seperti (1) menghilangkan pola pikir kompetisi atas corak dan karakter tradisi dan budaya kelompok lain. Selama mereka masih berstatus warga negara Indonesia dan tidak membuat kericuhan dan keresahan masyarakat, maka kelompok tersebut masih menjadi inventaris kekayaan bangsa. (2) penanaman rasa bangga atas kekayaan budaya dan tradisi bangsa Indonesia. (3) mengedepankan etika dalam berinteraksi sebagai pembentukan modal awal dari lingkup pendidikan berbasis keluarga. Dengan cara menghormati orang yang lebih tua, khususnya orang tua, mencintai yang muda tanpa tebang pilih sebagaimana fundament moral Pancasila.

Kunci kesuksesan tersebut akan dianggap berhasil apabila indikator terakhir pada pembahasan ini menjadi titik tumpu yang wajar. Sebuah kesalehan personal. Seorang anak sebagai objek pendidikan tergantung dalam menyikapi sebuah persoalan yang dihadapi. Sebagaimana mereka membaca, melihat hingga merespon. Persoalan tersebut bisa menjadi kesempatan, namun juga bisa menjadi boomerang baginya.

Beberapa dogma atas perbuatan tersebut bagi anak-anak saat ini adalah cerdas dalam mengoperasikan gadget sebagai media informasi primer di era disrupsi saat ini. Keberadaan gadget adalah sebagai media persoalan besar bagi netizen secara nasional. Sebab lahirnya permasalahan dan hadirnya trending topic atas aib tingkah laku suatu kelompok lokal sering didapat dari gadget(Marpaung, 2018).

Mereka ada yang mudah terpengaruh, dan ada yang cerdas dalam memilah. Juga ada yang kritis dalam mengomentari atas persoalan yang dibaca. Mereka yang mudah terpengaruh adalah sebuah persoalan yang lumrah diadapi saat ini. Salah satu menjadi faktor utamanya adalah kualitas membaca masyarakat Indonesia dinilai buruk(Permatasari, 2015). Pesan tersebut perlu menjadi digaris bawahi oleh orang tua, agar menyediakan beberapa media maupun bahan ajar yang ada di rumah dengan mengedepankan mereka gemar membaca. Juga sebagaimana pembiasaan literasi dengan cara gemar resensi atau mengritisi beberapa quotes atau kalimat kesimpulan yang ada didalam referensi bacaannya.

Teringat dengan budaya orang eropa tentang seorang suami memberikan tugas matematika bagi istrinya yang hamil. Budaya ibu hamil bukan lagi nyidam buah-buahan lagi, melainkan memperbanyak membaca dan menulis sebuah pengetahuan atau keilmuan. Ini merupakan sebuah corak budaya ibu rumah tangga. Pastinya mereka juga melakukan upgrading pengalaman dan pengetahuannya secara mandiri. Adopsi budaya tersebut juga dilakukan di Bantul(Novianti & Fatonah, 2018). Sebagai pilar rumah tangga, ibu-ibu baik dalam kondisi hamil, maupun tidak mampu menjadi garda terdepan dalam memfilter sebuah pengalaman pribadi maupun perkembangan ideologi. Salah satu bentuk penguatan literasi tersebut adalah dengan cara membentuk FGD pada kesempatan perkumpulan PKK. Perkumpulan tersebut juga menjadi momentum tersendiri bagi para ibu rumah tangga sebagai bentuk meminimalisir dampak negatif dari perkembangan digital saat ini.

Baca Juga:  Kiki Farrel Berkempatan Tunaikan Ibadah Haji

Kemudian dalam lingkup rumah tangga perlu membiasakan berdiskusi dan evaluasi sebagai bentuk ikhtiar pendidikan. Dengan cara metode musyawarah ataupun tanya jawab, dapat membentuk gaya berpikir anak untuk cerdas memilah dan mampu mengkritisi bentuk persoalan. Baik persoalan secara pribadi maupun salah satu berita yang menjadi topik pembicaraan diruang keluarga.

Sebagai penguatan utama. Adalah penanaman keagamaan. Hakikat agama dihadirkan sebagai sila pertama adalah negara didirikan atas dasar ketuhanan. Sebagaimana masyarakat yang saat ini dilahirkan adalah menjadi khali>fah fi al-ardh. Menjadi khalifah dalam hal ini adalah untuk menebar cinta dan kasih sayang dengan cara mengembangkan dan merawatnya. Sehingga esensi dari agama diturunkan juga sebagaimana Rasulullah Saw diutus juga untuk memperbaiki akhlak manusia.

Dialog mengenai akhlak, masyarakat beragama pastilah menjadi masyarakat yang berakhlak. Maka proses doktrinasi keagamaan adalah sebuah hak dari masing-masing preogratif internal keluarga. Paksaan beragama adalah tidak dibenarkan. Namun toleransi dengan cara memberikan kebebasan dalam beragama juga merupakan bentuk hidup berdampingan(Nazmudin, 2017). Memberikan kebebasan, memberikan tempat ibadah sesuai dengan takaran kebutuhan di setiap wilayah maupun daerah adalah upaya menciptakan kerukunan. Jauh dari hal tersebut juga tidak dibenarkan atas membiarkan anaknya untuk memeluk agama lain karena alasan toleransi. Maka disinilah batasan yang dimaksud dalam memberikan batasan proyek kebhinekaan dalam keberagaman.

Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil atas strategi orang tua dalam menciptakan pendidikan toleransi atas kebhinekaan dalam keberagaman perlu memerhatikan beberapa item. Item yang pertama adalah upaya orang tua memberikan wawasan kebangsaan dengan memperkenalkan khazanah tradisi dan budaya bangsa. Dengan memperkenalkan lagu-lagu nasional, lagu-lagu daerah, tarian daerah hingga pada akhirnya memunculkan rasa cinta hingga mempromosikan serta mengembangkan budayanya sebagai bentuk bangga atas budaya lokalnya (inventarisir kekayaan budaya dan tradisi lokal).

Memberikan target saleh secara personal pada masing-masing pendidikan keluarga dengan cerdas dalam menghadapi berbagai persoalan maupun berita yang dihadapi maupun dibacanya. Mereka perlu ditanamkan budaya klarifikasi, musyawarah hingga kritis dalam menanggapi sebuah berita maupun persoalan. Karena kewibawaan bangsa bukan hanya ditinjau dari kecerdasan intelektual belaka, melainkan kecerdasan dalam manajemen emosional perlu diseragamkan bagi setiap insan pendidikan.

Sehingga pada akhirnya pendidikan prenatal dengan memerhatikan menentukan jodoh, kebiasaan ibu hamil yang gemar membaca, hingga memberikan fasilitas maupun media literasi dirumah sebagai kebutuhan pokok belajar anaknya.

Penulis: Alaika M. Bagus Kurnia PS *

* Dosen Agama Islam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dan Pengasuh YPPP. An-Nuriyah Surabaya

 

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA