Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 24 Februari lalu memicu perdebatan publik. Sejumlah pihak mempermasalahkan tidak adanya nama Presiden Soeharto sebagai tokoh penting Serangan Umum 1 Maret 1949.
Secara garis besar, Keppres itu menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara sebagai tindak lanjut aspirasi rakyat DI Yogyakarta yang disampaikan Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Isi lengkap Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang ditandatangani Presiden Jokowi itu ialah:
KESATU: Menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara
KEDUA: Hari Penegakan Kedaulatan Negara bukan merupakan hari libur
KETIGA: Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Keppres itu disertai dengan naskah akademik setebal 138 halaman. Naskah akademik membahas berbagai literatur soal peristiwa bersejarah Serangan Umum 1 Maret. Pada naskah itu, nama Soeharto disebut sebanyak 48 kali. Beberapa buku sejarah tentang peran Soeharto dalam peristiwa bersejarah itu pun dijadikan rujukan.
Naskah akademik itu menyatakan peristiwa Serangan Umum 1 Maret selama ini hanya mengedepankan tokoh tertentu. Dengan kata lain, mereduksi peran banyak tokoh bangsa dalam peristiwa yang mengubah peta konflik Indonesia-Belanda.
Naskah akademik juga menyinggung publikasi Dinas Sejarah Militer TNI Angkatan Darat pada buku Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI Angkatan Darat. Turut pula menyinggung film Janur Kuning yang disutradarai Alam Rengga Rasiwan Surawidjaja pada tahun 1980.
Dua catatan sejarah itu dinilai hanya mengedepankan peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret sehingga dinilai tidak sesuai fakta.
“Kondisi tersebut tidak sejalan dengan fakta yang sebenarnya, bahwa banyak tokoh-tokoh penting lain yang terlibat dalam Peristiwa Serangan Umum 1 Maret dan bermuara pada Penyerahan Kedaulatan Negara secara utuh oleh Belanda kepada Indonesia dan Pengakuan dunia Internasional atas kedaulatan Negara Indonesia,” dikutip dari naskah akademik yang diunggah situs resmi Kemenko Polhukam, dikutip dari CNNIndonesia.com, Ahad (06/03/2022).
Bagian penutup naskah akademik disertai dukungan terhadap penetapan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Usulan itu disertai dengan dorongan untuk menulis ulang kembali sejarah Serangan Umum 1 Maret.
“Penulisan kembali sejarah tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 yang selama ini telah mengesampingkan peran para tokoh utama bangsa seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Panglima Besar Jenderal Soedirman, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan tokoh-tokoh penting lainnya baik sipil maupun militer,” bunyi bagian penutup naskah akademik Keppres 2/2022.
Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan, Keppres yang diteken Presiden Jokowi itu bukan buku sejarah yang harus mencantumkan nama pihak-pihak terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Namun, ia memastikan nama Soeharto tetap ada dalam sejarah peristiwa tersebut.
“Ini adalah keputusan presiden tentang titik krusial terjadinya peristiwa, yaitu hari yang sangat penting. Ini bukan buku sejarah, kalau buku sejarah tentu akan sebutkan nama orang yang banyak,” kata Mahfud dalam keterangan video beberapa waktu lalu
Mahfud menjelaskan, Keppres itu hanya menyebutkan tokoh-tokoh yang berperan sebagai penggagas dan penggerak Serangan Umum 1 Maret 1949, yakni Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Panglima Jenderal Besar Soedirman.
Sementara itu, sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga menjadi salah satu tenaga ahli Penulis Naskah Akademik Hari Penegakkan Kedaulatan Negara Sri Margana membenarkan langkah pemerintah tak menyebutkan Soeharto dalam Keppres Nomor 2 tahun 2022. Menurutnya, langkah Mahfud MD dalam memberikan penjelasan sudah tepat.
“Pak Mahfud sudah benar bahwa kalau melihat sejarah ya di buku sejarah. Lagi pula Keppres itu kan bukan sejarah. Keppres itu bahasa administratif. Kalo mau liat perannya Soeharto ya baca buku sejarah, baca naskah akademik yang saya tulis. Jadi di buku naskah akademik itu semua tokoh penting yang berpartisipasi disebut semua termasuk Pak Harto. Tidak ada yang dihapus,” kata Sri Margana. NF