Perkembangan teknologi informasi menjadi tantangan semua kalangan. Termasuk para Bu Nyai yang aktif di sebuah organisasi keagamaan maupun mengasuh pondok pesantren. Nah, bagaimana Bu Nyai diera milenial menjawab tantangan ini?
Menjadi seorang bu Nyai memiliki peran dan tanggung jawab yang besar. Baik terhadap santri di pondok pesantren, suami, keluarga, maupun dunia luar. Sebab, peran bu Nyai memiliki pengaruh besar terhadap kualitas pendidikan yang diberikannya. Tentunya tetap menjaga marwah pondok pesantren, namun bisa berpartisipasi dalam kegiatan dakwah di luar pesantren.
Begitulah yang menjadikan Hj Djuwairiyah Fawaid, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Banyuputih Situbondo, tetap eksis dan aktif dalam berbagai bidang. Baik di dalam maupun di luar pesantren.
Salah satu kiprah bu nyai di luar pesantren, yaitu aktif dalam perkumpulan bu Nyai Nusantara dan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Jawa Timur. “Alhamdullilah, saya diberi kesempatan untuk berkhidmat di NU. Saya menjalani semua kegiatan yang sudah menjadi tanggung jawab saya. Saya juga sebagai dosen Pendidikan Agama Islam. Saya masih study di Universitas Malaya Malaysia untuk S3, karena memang itu kewajiban saya,” kata Ketua Bidang Sosial PW Muslimat NU Jatim ini.
Sebagai perempuan, kata Hj Djuwairiyah, tidak boleh berhenti untuk memikirkan masalah pendidikan. Karena, menurutnya, jauh sebelum era modern, perempuan sudah diberikan tauladan oleh Siti Khadijah. Bagaimana dia ikut mendampingi sampai Rasulullah mencapai puncak kemenangan dalam berdakwah.
Siti Khadijah membackup apa yang menjadi masalah-masalah Rasulullah SAW, bukan hanya masalah rumah tangga tetapi juga masalah kemasyarakatan. Strategi Rasulullah selama berdakwah juga bisa dijadikan tauladan.
“Banyak sahabat-sahabat nabi dari kaum perempuan yang telah memberikan sejarah benang emasnya kepada kita untuk bisa ikut berdakwah, dan muncul ke permukaan,” kata istri dari KHR. Achmad Fawaid As’ad (Almarhum).
Pada zaman sekarang ini, perempuan jauh lebih banyak komunitasnya daripada laki-laki. Ketika perempuan tidak ikut panggilan dalam tatanan sosial, ekonomi, dan lainnya, kaum perempuan justru akan tertinggal jauh. Apalagi untuk perkembangan pendidikan.
Saat ini, kata Hj Djuwairiyah, apa saja bisa diakses dari medsos dan internet. Jadi semuanya bisa lebih praktis. Tapi, pembelajaran dari medsos, artikel dari google, dan semua informasi dari internet, tidak bisa mengalahkan peran guru yang dengan ikhlas memberikan ilmu kepada muridnya. Baik mengenai pembelajaran, moralitas, dan seterusnya.
Karenanya, lanjut Hj Djuwairiyah, dirinya harus terus update dengan perkembangan zaman sehingga materi dakwah atau pembinaan terhadap mahasiswa maupun santri bisa mengena.
“Ini sudah menjadi tahun kedua saya menempuh pendidikan S3 di Kampus Malaya Malaysia. Saya sedang dalam tahap penelitian mengenai pondok pesantren, tentang pendidikan kepemimpinannya yang tidak dimiliki teori-teori Barat. Bahwa di pondok pesantren ada yang disebut dengan Kiai muasis atau yang disebut ustadz, syaikh, buya. Itu yang tidak dimiliki oleh teori-teori barat,” paparnya.
Utamakan Pesantren
Pondok pesantren adalah tempat bu Nyai untuk mengabdi tanpa batas. Hal inilah yang melatar belakangi Hj Djuwairiyah mengambil penelitian mengenai pesantren. Ia pun ingin mempertemukan bagaimana pengabdian para kiai dan ustadz untuk bisa merubah para santri, dengan mengambil suri tauladan dari para kiainya.
Padahal, menurut Ketua Fatayat NU Cabang Situbondo 2004-2008 ini, banyak bu Nyai yang berpendidikan tinggi yang juga bisa menjadi suri tauladan bagi para santri. “Kalau sudah terpenuhi kewajiban di pesantren, bisa dilanjutkan dengan kegiatan di luar yang bisa bermanfaat di masyarakat. Kalau bisa bermanfaat untuk kedua-keduanya justru lebih bagus. Namun tujuan utama para bu Nyai adalah pesantrennya, karena di pesantren perannya tidak bisa digantikan oleh siapapun, kalau kemasyarakatan masih banyak yang akan membantu,” ujar Koordinator Bidang Sosial PW Muslimat Jawa Timur Periode 2016-2020.
Saat ini, semangat dari bu Nyai untuk berkiprah di organisasi sangat tinggi. Salah satunya bisa dilihat dari kegiatan Bu Nyai Nusantara. Bu Nyai yang struktural dengan yang non struktural dari Fatayat, baik tingkatan cabang, wilayah (PW) sampai pusat (PP), banyak yang memang asli bu nyai yang berasal dari pondok pesantren yang ketokohanya, dan kemanfaatan ilmunya sudah mumpuni. Tetapi secara struktural masih butuh direkrut untuk bisa berkiprah lebih sebagai kader perempuan NU.
“Saya ingin bu Nyai dalam perkumpulan Bu Nyai Nusantara tidak hanya sekadar perkumpulan saja, tetapi juga perkumpulan yang berbagi banyak kepentingan dan tujuan. Tetapi bagaimana membentuk sebuah kekuatan besar yang tidak dimiliki oleh organisasi lain, karena bukan hanya sekadar organisasi tetapi memiliki keterpanggilan dan kebutuhan untuk bersama-sama para Kiai merawat NU. Seperti yang didawuhkan KH Hasyim Asyari barangsiapa yang merawat NU, siapa yang berjuang demi NU, siapa yang mendoakan, dan siapa yang mendoakan anak cucunya untuk masuk surga. Ini motivasi yang luar biasa untuk kami,” aku Wakil Direktur II Akademi Kebidanan Ibrahimy tahun 2008-sekarang.
Komitmen ini terus dibangun para bu Nyai Nusantara agar tetap eksis memperjuangkan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah. Namun semua itu tidak lepas dengan dukungan finansial berupa materi. “Para bu Nyai terpanggil untuk menyisihkan uang belanja untuk menyukseskan kegiatan bu Nyai Nusantara,” katanya.
Langkah yang dilakukan para bu Nyai tersebut, kata Hj Djuwairiyah, hanya berharap mendapat keberkahan dari para Kiai dan muasis Nahdlatul Ulama. “Yang dibutuhkan bu nyai saat ini adalah bagaimana pembelajaran mengenai kepemimpinan, bagaimana mereka juga harus mengatur strategi, bahwa perbedaan itu juga adalah sebuah keniscayaan. Jangan terusik dengan kepentingan-kepentingan sesaat, karena jika ada kepentingan yang terselip dalam kegiatan ini akan mengganggu harmonisasi,” ujar owner PT Hafas Putra Panji Situbondo.
Inilah yang menjadi tujuan dari Hj Djuwairiyah mengajak para bu Nyai untuk turut serta berorganisasi. Untuk bisa terwujudnya izzul islam wal muslimin, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ia mengaku membutuhkan dukungan dari keluarga.
Bahkan, dari keluarga besar KH Fawaid (Almarhum) telah berkomitmen untuk membentengi masyarakat. Tentunya, tidak meninggalkan kewajiban sebagaiu pengasuh 14 ribu santri pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Banyuputih Situbondo.
“Semuanya kami lakukan bersama, kami kerja team work bersama-sama pengurus dan teman-teman, alhamdullilah semuanya bisa diatur dengan baik. Untuk sistem pendidikan di pesantren berjalan dengan baik. Untuk teknologi seperti computer dan internet kita batasi. Karena mudharatnya juga banyak,” akunya.
Nyai Djuwairiyah percaya, bahwa pendidikan diperoleh bukan sekadar memberikan ilmunya, tetapi harus mengajarkan mengenai moralitas, karena akhlak adalah puncak ilmu pengetahuan. Banyak orang yang berilmu tapi tidak punya akhlak. Karenanya, perlu menyaringan informasi sehingga ilmu yang diperoleh benar-benar manfaat.
“Hal yang paling penting bagi bu Nyai secara esensi adalah mereka bisa memiliki refrensi banyak dalam dunia teknologi. Peran bu nyai di NU secara umum sangat luar biasa. Apalagi jika suaminya menjadi pengurus di NU, pasti bu Nyainya sangat luar biasa, karena keberhasilan seorang suami atau kiai tidak lepas dari peran bu Nyainya yang luar biasa,” pungkasnya.* Diah Rengganis