”Jangan menangis!” Demikian Al-Ghifari bertutur kepada sang istri pada suatu hari. Bergembiralah, sebab saya mendengar Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “Akan wafat seorang laki-laki di antara kalian di tanah gersang, disaksikan sekelompok orang beriman (HR Ibnu Majah).”
Sahabat Nabi yang akrab dengan laqab dan kunyah Abu Dzar Al-Ghifari ini gemar mewasiati istrinya ihwal kesabaran. Ia merasakan kesengsaraan bertubi-tubi turut menimpa sang istri semenjak memutuskan diri untuk memilih jalan sunyi, uzlah. Seusai Nabi tiada, kekecewaan besar muncul di dadanya.
Ia terusik dengan kekhilafan yang tengah memutar haluan sebagian kawan-kawan seperjuangan. Al-Ghifari tak bersepakat jika Islam hanya melulu soal wilayah dan perluasan, kekayaan, dan pengakuan kekuasaan yang diperoleh melalui perang dan paksaan.
Al-Ghifari selalu diliputi perasaan gembira dalam setiap hari-harinya penuh keterbatasan di tanah gersang, tepatnya di perbatasan Madinah dan Rabdzah. Pada saat duka melanda, ia akan kembali mengingat perkataan Nabi tentang seorang sahabat terpilih yang akan mati di tanah itu. Sesekali ia menghitung dan menghafal nama-nama, sahabat-sahabat terbaik Nabi yang ia kenal lebih banyak mengembuskan napas di tengah kota, kampung, medan peperangan, dan tempat lain. Namun, di tanah gersang, kata Al-Ghifari, belum satu pun serupa yang diucap Kanjeng Nabi.
Tak lama, Sang Khaliq memanggil Jundub ibn Junadah – nama asli lelaki itu. Air mata meleleh di kedua mata istrinya: ada bahagia, juga duka. Bahagia lantaran sang kekasih berpulang di tempat yang ia cita-citakan. Berduka, sebab di tangannya kini tak ada selembar pun kain kafan, sebelum akhirnya Allah SWT menakdirkan orang-orang mukmin datang untuk menolong, mendoakan, dan memberi penghormatan.
Jalan sunyi yang ditempuh Al-Ghifari adalah pilihan tepat. Semasa hidup, setelah Rasulullah dan sahabat-sahabat terbaiknya wafat ia kerap terlibat perdebatan mengenai apa-apa yang kini telah dianggap melampaui batas kewajaran. Namun demi menjaga persatuan, ia memilih untuk mengasingkan diri dan menepi. Bukan dari Islam, melainkan dari perilaku-perlaku di luar cita-cita Nabi, akan tetapi sering dipaksakan atas nama kebesaran dan kejayaan Islam.
Kebesaran dan kejayaan Islam yang disalahartikan hingga menggeser sebagian orang menjauhi cita-cita awal itu terus berlanjut hingga beratus bahkan beribu-ribu tahun kemudian. Termasuk hari ini. Islam yang dikabarkan turun sebagai agama damai, menjadi serupa pengancam. Tak hanya untuk orang lain, akan tetapi juga bagi golongannya yang tetap mengambil kebaikan silaturrahmi demi prinsip kemanusiaan sebagaimana yang diamanatkan Kanjeng Nabi.
”Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Demikian sabda Sang Nabi.
Di Indonesia, sepanjang usianya telah dihabiskan untuk merajut perbedaan dan menjaga semilir sejuk perdamaian. Demikian salah satunya ialah KH Abdurrahman Wahid . Di masa Islam dibelak-belokkan sebagai mayoritas yang manja, serba ingin dituruti dan berhak menindas tanpa memedulikan hak-hak kelompok agama lain, Gus Dur – panggilan akrabnya – hadir di jalan sunyi Al-Ghifari, di jalan yang tidak ditempuh banyak orang. Di jalan yang mungkin tumbuh akibat kekecewaan terhadap orang-orang yang menjadikan Islam sebagai jalan kepentingan-kepentingan dunia semata.
Pada 30 Desember 2009 Gus Dur menghadap ke Rahmatullah. Hj Sinta Nuriyah melanjutkan perjuangannya. Jalan masih tetap sunyi karena tak juga banyak orang yang lekas mengerti bahwa Islam bukan sekadar banyak-tidaknya jumlah pemeluk. Namun, bagaimana ia berperan menjaga persaudaraan terhadap sesama demi terciptanya perdamaian.
Yang tak suka jalan sunyi Sinta Nuriyah, mereka mencerca. Tapi, mari simak surat cinta Nabi Muhammad SAW yang pernah dikirim untuk sebuah gereja St. Catherine di Semenanjung Sinai, Mesir pada 628 Masehi ini:
“Bahwasanya mereka (Nasrani) sesungguhnya adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai. Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang. Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila seorang perempuan Kristen menikahi lelaki Muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja untuk berdoa. Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tak boleh ada umat Muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).’Al-Ahd wal Surut allati Sarrataha Muhammad Rasulullah li Ahlil Millah al-Nashraniyyah’“
Dalam penggalan paragraf sebelumnya, Rasulullah berkata, “Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya.”
Sinta Nuriyah masih di jalan sunyi, menjaga pesan dan amanat Nabi. Sementara yang mencerca: di manakah jalan kalian?
Adi