AULA, Jakarta – Sidang Pleno Komisi Organisasi pada Munas Alim Ulama-Konferensi Besar NU memutuskan bahwa pemilihan Ketua Umum PBNU dan ketua tanfidziyah di seluruh tingkatan tetap menggunakan sistem pemilihan langsung. Model Ahlul Halli wal Aqdli (AHWA) sebagaimana diusulkan Pengurus Wilayah NU Jawa Timur tidak dikabulkan forum.
Lantas bagaimana respons NU Jatim? “Sebenarnya kami sangat berharap di forum Munas dan Konbes NU ini usulan agar pemilihan Ketua Umum PBNU dapat juga dilakukan dengan model AHWA,” kata KH Syafrudin Syarif, Katib Syuriyah NU Jatim kepada AULA, Ahad (26/09/2021).
Dia menjelaskan, mudlarat lebih banyak ditimbulkan jika kemudian pemilihan ketua umum dilakukan secara langsung dan terbuka, dibandingkan dengan model AHWA. Karena itu NU Jatim mengusulkan AHWA. “Salah satunya, ketua umum yang nantinya akan diikuti ketua di setiap level juga akan dilakukan lewat sistem yang sama,” ujar alumni Pesantren Lirboyo, Kediri tersebut.
Kiai Syafrudin kemudian memaparkan sejumlah fakta bahwa ada kepengurusan di salah satu kabupaten yang ternyata kepengurusannya tidak kompak. Antara rais syuriyah dan ketua tanfidziyah tidak sejalan. “Dalam pandangan kami, hal tersebut terjadi lantaran ketua memiliki legitimasi yang sama dengan rais,” ungkapnya.
Karena itu, sejak awal PWNU Jatim bersikukuh mengusulkan pemilihan ketua dilakukan dengan model AHWA. Tentunya hal tersebut berdasar kenyataan yang terjadi di lapangan. “Pertimbangan lain, sistem voting untuk pemilihan ketua umum akan mengurangi, bahkan mendegradasi supremasi syuriyah,” tegas Kiai Syafruddin.
Namun demikian, palu sudah diketok dan Munas-Konbes NU memutuskan bahwa pemilihan Ketum PBNU dilakukan dengan pemilihan langsung. Sementara untuk pemilihan Rais Aam sepakat tetap menggunakan sistem sebagaimana diputuskan di Muktamar ke-33 NU di Jombang, yakni AHWA.