Majalahaula.id – Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, memiliki akar kuat dalam tradisi pesantren. Pesantren tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu agama, tetapi juga sebagai wadah pembentukan karakter, moral, dan kepemimpinan. Bagi banyak orang, menjadi santri di pesantren adalah langkah awal untuk berkhidmat kepada masyarakat melalui NU. Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki latar belakang pesantren ? Apakah mereka juga bisa berperan aktif dalam perjuangan NU ?
Bagi alumni pesantren, menjadi santri adalah pengalaman yang membentuk kepribadian dan pola pikir. Pesantren mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan, kedisiplinan, dan ketawadhu’an (kerendahan hati). Santri diajarkan untuk menghormati kiai sebagai figur sentral yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Kiai, sebagai pemimpin spiritual dan sosial, memiliki peran penting dalam membimbing santri untuk memahami ajaran Ahlussunnah wal Jamaah An Nahdliyyah (Aswaja An Nahdliyyah). Melalui pesantren, santri belajar kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang menjadi dasar pemikiran NU. Mereka juga diajarkan untuk menghargai tradisi, budaya, dan kearifan lokal, yang menjadi ciri khas NU. Setelah lulus dari pesantren, banyak santri yang memilih untuk berkhidmat kepada masyarakat melalui NU. Mereka menjadi ustadz, da’i, atau pengurus di berbagai lembaga NU. Beberapa bahkan melanjutkan perjuangan dengan mendirikan pesantren baru atau menjadi kiai yang membimbing generasi berikutnya.
Meskipun tidak memiliki latar belakang pesantren (alumni non-pesantren), banyak orang yang merasa terpanggil untuk berkhidmat di NU. Mereka mungkin berasal dari latar belakang pendidikan umum, tetapi memiliki kecintaan terhadap nilai-nilai yang diajarkan oleh NU. Bagi mereka, NU bukan hanya organisasi keagamaan, tetapi juga gerakan sosial yang memperjuangkan keadilan, toleransi, dan kemanusiaan.
Alumni non-pesantren dapat berkontribusi dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, pertanian, serta perencanaan. Mereka membawa perspektif baru dan keterampilan yang dapat memperkaya perjuangan NU. Misalnya, seorang dokter yang aktif di Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU), seorang pengusaha yang mendukung program pemberdayaan ekonomi melalui Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU), seorang pengacara yang memberikan bantuan hukum melalui Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU), atau seorang praktisi perencanaan di pemerintahan dapat berkonstribusi dalam urusan perencanaan melalui Badan Perencanaan Nahdlatul Ulama (BAPENU). Keterlibatan alumni non-pesantren dalam NU juga menunjukkan bahwa organisasi ini bersifat inklusif artinya mengajak atau mengikutsertakan semua orang tanpa membeda-bedakan. NU tidak hanya milik santri atau kiai, tetapi milik semua orang yang sepakat dengan prinsip-prinsip Aswaja An Nahdliyyah dan ingin berkontribusi untuk kemaslahatan umat.
Sinergi antara alumni pesantren dan non-pesantren adalah kunci untuk memperkuat peran NU di masyarakat. Alumni pesantren membawa fondasi keilmuan dan spiritual yang kuat, sementara alumni non-pesantren membawa keterampilan dan pengetahuan praktis yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan modern. Misalnya, dalam menghadapi isu-isu kontemporer seperti radikalisme, hoaks, atau perubahan iklim, NU membutuhkan pendekatan yang holistik yang berarti menyeluruh atau keseluruhan. Alumni pesantren dapat memberikan penjelasan keagamaan yang mendalam, sementara alumni non-pesantren dapat mengembangkan program-program yang efektif untuk mengatasi masalah tersebut.
“Siapa yang mau mengurusi NU, aku anggap sebagai santriku. Siapa yang menjadi santriku, aku doakan husnul khatimah beserta anak cucunya”. Petuah bijak Hadratussyaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari, Pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) organisasi massa Islam, Nahdlatul Ulama (NU), untuk menjadi santri Sang Kiai tidak selalu berarti harus belajar langsung di pesantren. Baik alumni pesantren maupun non-pesantren, semua bisa menjadi bagian dari keluarga besar NU selama mereka memiliki komitmen untuk menjaga nilai-nilai Aswaja An Nahdliyyah dan memperjuangkan kemaslahatan umat.
Dalam pandangan Nahdlatul Ulama (NU), kiai adalah sosok penjaga tradisi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah An Nahdliyyah (Aswaja An Nahdliyyah) yang moderat dan inklusif. Dan juga kiai tidak hanya dipahami sebagai figur yang berada di pesantren, tetapi juga sebagai simbol kepemimpinan yang bijaksana dan penuh kasih sayang. Setiap orang yang berkhidmat di NU, baik sebagai ustadz, aktivis, atau profesional, dapat meneladani sifat-sifat kiai dalam kehidupan sehari-hari. Bagi santri Sang Kiai, mengikuti jejak sang kiai berarti melanjutkan perjuangan menjaga harmoni dalam keberagaman, serta menegakkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Menjadi santri Sang Kiai adalah jalan hidup yang penuh makna, baik bagi alumni pesantren maupun non-pesantren. Pesantren memberikan fondasi keilmuan dan spiritual yang kuat, sementara kontribusi alumni non-pesantren membawa nuansa baru dalam perjuangan NU. Sinergi antara keduanya akan memperkuat peran NU sebagai organisasi yang relevan di tengah perubahan zaman. Pada akhirnya, berkhidmat di NU adalah panggilan jiwa yang mengajarkan kita untuk selalu mengedepankan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.
*) Penulis adalah Wakil Ketua I MWCNU Panji dan Sekretaris Pengurus Cabang Badan Perencanaan Nahdlatul Ulama (PC BAPENU) Kabupaten Situbondo