Majalahaula.id – Sudah lebih dari lima tahun, saya tak pernah melakukan perjalanan ke luar negeri. Tercatat, perjalanan terakhir ke Norwegia pada 2019, bersama anggota Komisi E DPRD Propinsi Jawa Timur.
Kini bareng rombongan DPW NasDem Jawa Timur, saya melakukan tour ke Malaysia pada 8-11 Januari 2025. Sebuah negeri jiran yang masih terkait dengan sejarah Nusantara semenjak Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Selat Malaka menjadi gerbang nusantara yang mendorong perdagangan internasional dari Tiongkok dan India. Selat ini pula yang menghubungkan Indonesia dan Malaysia pada pertengahan dan akhir milenium pertama di bawah otoritas Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang.
Parameswara adalah keluarga kerajaan Sriwijaya yang mendirikan Kesultanan Malaka. Ia melarikan diri setelah mendapat serangan dari Kerajaan Majapahit. Wangsawijaya juga pernah menguasai Semenanjung Malaya.
Jadi, Indonesia dan Malaysia punya pengalaman dalam satu otoritas kekuasan Sriwijaya dan Majapahit. Kesultanan Malaka bahkan pernah menyatukan Nusantara sampai Inggris dan Belanda pada 1824 dengan membagi negeri koloni.
Pembagian wilayah kekuasaan ini mengacu pada Traktat London dengan formulasi Malaysia di bawah Inggris dan Indonesia di bawah Belanda. Dua negara penjajah inilah yang telah menghapus Pan Malaya yang menyatukan kenusantaraan dua negeri jiran.
Indonesia-Malaysia yang bersatu dalam memori imperial Nusantara dan berpisah jalan sebagai negara post-colonial telah menjadi negara yang berdaulat dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Nagari Nusantara yang telah berwajah ganda: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Negara Federal Parlementer Monarki Konstitusional Malaysia (NFPMKM).
Konsekuansi-logis dari dua sistem pemerintahan ini, sistem ekonomi, komunikasi dan imigrasi juga merupakan dampak ikutan yang tak terhindarkan. Dalam tour pun, kekonyolan tak terelakkan pula. Rupiah harus diringgitkan, nomor Telkom atau Indosat juga butuh diroamingkan, paspor saja tak cukup, Malaysia Digital Arrival Card (MDAC) harus diisikan.
Dari 21 orang anggota rombongan ini, saya yang paling akhir lepas dari pemeriksaan imigrasi. Pasalnya, saya belum mengisi MDAC ini. Petugas meminta saya segera mengisinya. Yang konyol, 2 HP saya tidak bisa mengisi aplikasi tersebut. HP yang satu kehabisan baterai dan HP yang lain belum diisi data roaming, sehingga tak bisa mengisi data tersebut secara online.
Akhirnya, saya minta tolong Kakak Husnul Arif yang biasa dipanggil Kak Pipin. Dengan sabar Wakil Ketua Komisi D DPRD Propinsi Jatim ini, menggunakan HPnya untuk mengisikan data saya. Terasa data sudah diisi lengkap, tapi disubmit tak sukses-sukses. Cukup lama, tak berhasil. Sementara antrian para pelancong mengular menuju pos pemeriksaan.
Kak Pipin tanya kepada petugas di meja 37 itu, “kenapa tak bisa-bisa iya Bang?”. “Coba mana HPnya!!!”, pinta petugas imigrasi ini. Lalu Kak Pipin menyerahkan dengan senang hati.
Tak berapa lama, petugas itu sukses mensubmit data saya di MDAC. Ternyata, kita gagal berulang-ulang lantaran salah tulis email. Perkaranya terletak pada penulisan alamat email yang tak konsisten. Ada yang ditulis dengan huruf kapital selanjutnya ditulis dengan huruf kecil.
Kejadian yang saya alami ini, lucu. Benar-benar lucu dan naif. Pengalaman transit di Bandara Kuala Lumpur dari Indonesia ke Madinah via Maskapai Air Asia pada 2017, tak cukup memudahkan tour ke Malaysia. Ternyata butuh informasi lebih lengkap untuk masuk ke negeri Perdana Menteri Anwar Ibrahim ini.
Pengisian MDAC merupakan kebijakan baru imigrasi Malaysia untuk mempercepat proses administrasi dan antrian di pos pemeriksaan wisatawan. Kebijakan ini diberlakukan sejak 1 Januari 2024 di Kuala Lumpur Airport.
Sejatinya, para pengembara bisa mengisi MDAC secara online, 2 sampai 3 hari sebelum ketibaan. Pihak Jabatan Imigresen Malaysia tinggal cap stempel paspor wisatawan yang bersangkutan, di pos pemeriksaan.
Sayangnya, saya baru tahu kebijakan ini, selepas saya mengabadikan kejadian konyol ini sebagai tour memorial yang akan dikenang sepanjang hayat. Julius Caesar di buku De Bello Civili, menuliskan “Ut est rerum omnium magister usus” (pengalaman adalah guru terbaik).
Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute