Majalahaula.id – Jika ditelisik, sebenarnya kata Idul Fitri berasal dari kata Ied dan Fithri. Kata Ied diambil dari asal kata Aud dengan huruf tengah waw yang berarti kembali. Diberi nama Idul Fitri karena perayaan ini dilakukan berulang kali setiap tahun. Sebagian ulama menafsiri bahwa penamaan dengan Idul Fitri karena setiap kali hari raya datang umat muslim akan merasakan kesenangan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa penamaan tersebut dikarenakan pada hari itu Allah banyak memberikan karunia dan kasih sayang pada hamba-hambanya.
Tentu saja, pelaksanaan shalat Idul Fitri adalah salah satu cara Nabi untuk menanamkan nilai-nilai Islam pada masyarakat Madinah ketika itu. Pada saat Nabi hijrah ke Madinah, beliau melihat masyarakat Madinah berkumpul disebuah lapangan untuk bermain-main, kemudian Nabi bertanya-bertanya pada mereka, “hari ini peringatan apa?” Mereka menjawab, “ini adalah permainan yang sudah ada sejak zaman jahiliyah.” Nabi menjawab lagi, “Allah telah menggantinya dengan pekerjaan yang lebih baik, hari Idul Fitri dan Idul Adha.”
Dalam kitab Asna Al-Mathalib dikatakan:
أسنى المطالب في شرح روض الطالب : ج ١ / ص ٢٧٩
(كِتَابُ صَلَاةِ الْعِيدَيْنِ) عِيدِ الْفِطْرِ وَعِيدِ الْأَضْحَى وَالْعِيدُ مُشْتَقٌ مِنَ الْعَوْدِ لتتَكَرُرِهِ كُلَّ عَامٍ وَقِيلَ لِعَوْدِ السُّرُورِ بِعَوْدِهِ وَقِيلَ لِكَثْرَةِ عَوَائِدِ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فيه.
Artinya: “Kitab tentang sholat Ied, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Kata Idul Fitri berasal dari kata Ied. Kata Ied diambil dari kata Aud dengan huruf tengah Way yang berarti kembali, diberi nama Idul Fitri karena perayaan ini dilakukan berulangkali setiap tahun. Sebagian ulama menafsiri bahwa penamaan dengan Idul Fitri karena setiap kali hari raya datang umat muslim akan merasakan kesenangan. Ada juga yang berpendapat bahwa penamaan tersebut dikarenakan pada hari itu Allah banyak memberikan karunia dan kasih sayang pada hamba-hambanya.”
Demikian juga dalam kitab Kifayah Al-Tanbih dijelaskan:
كفاية النبيه في شرح التنبيه : ج ٤ / ص ٤٢٦
وقد روى حماد عن حميد عن أنس بن مالك، أنه – عليه السلام – لما هاجر إلى المدينة رأى أهل المدينة يخرجون إلى الصحراء في السنة يومين ويلعبون، فقال: “ما هذان اليومان؟ ” فقالوا: يومان كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال صلى الله عليه وسلم: “إنَّ الله قد أبدلكم [بهما] خيراً منهما: يوم الفطر، ويوم الأضحى”، أخرجه النسائي مختصراً.
Artinya: “Hamad meriwayatkan dari hamid dari anas bin malik, sesungguhnya nabi Muhammad Saw. ketika hijrah ke Madinah melihat penduduk Madinah keluar ke tanah lapang dalam tahun tersebut dua hari dan pada saat itu mereka sedang bermain-main, kemudian beliau bersabda “ hari apa ini?” kemudian mereka menjawab : hari ini adalah hari bermain pada masa jahiilyah, kemudian nabi menjawab: sesungguhnya Allah telah menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik, yaitu Idul fithri dan Idul Adha. Di takhrij oleh Imam Nasa’i.”
Lalu bagaimana dengan Penentuan Idul Fitri?
Yang jelas, penentuan pelaksanaan shalat hari raya sering kali menimbulkan permusuhan dan kebencian antar umat. Ini disebabkan perbedaan dalam penetapan awal Syawal. Perbedaan bukan hanya antar tokoh agama atau antar organisasi dan pemerintah.
Pertanyaannya adalah, siapakah yang harus dipatuhi masyarakat dalam hal penetapan 1 syawal? Dan bagaimana dengan masalah shalat Idul Fitri dan pelaksanaan zakatnya? Tentu, pada dasarnya, masyarakat wajib taat kepada Allah, taat kepada Rasulullah, dan kepada Ulil Amri dengan berbagai tafsirannya (selama kebijakan Ulil Amri tidak bertentangan dengan teks-teks qhat’iyah syari’ah). Nahdlatul Ulama telah memutuskan bahwa status pemerintah Indonesia adalah waliyu al-amri ad-dharuri bi as-syaukah.
Berbeda dengan Syafi’iyah. Menurutnya, tsubutu al-hilal dan kewajiban puasa untuk masyarakat umum harus melalui keputusan pemerintah. Sedangkan menurut selain Syafi’iyyah tidak disyaratkan keputusan pemerintah. Akan tetapi, jika pemerintah memutuskan tahqiqi al-hilal dan kewajiban puasa, maka masyarakat wajib mengikuti keputusan pemerintah. Sebab hukmu al-hakim yarfa’u al-khilaf.
Itu artinya, pertama, jika keputusan pemerintah dalam penetapan hari raya Idul Fitri didasarkan pada ru’yatu al-hilal (yang telah memenuhi syarat ru’yat), atau ikmalu Ramadhan (menggenapkan bulan Ramadhan menjadi 30 hari), maka masyarakat wajib menta’atinya, terlebih jika rukyatul hilal didukung oleh hisab. Jika seluruh ulama hisab sepakat bahwa hilal tidak mungkin dirukyah maka kesaksian rukyatul hilal harus ditolak.
Kedua, jika keputusan pemerintah dalam penetapan hari raya hanya didasarkan pada hisab semata, maka masyarakat tidak wajib mengikutinya. Sebab keputusan tersebut dianggap bertentangan dengan syari’ah menurut mayoritas fuqaha’.
Ketiga, jika terjadi perbedaan dalam penetapan hari raya, misalnya sebagian daerah melihat bulan sedangkan daerah lain tidak melihatnya, maka masyarakat wajib mengikuti keputusan pemerintah, berdasar pada “hukmu al-hakim au qaraaru waliyu al-amri yarfa’u al-khilaf wa yulzim fi al-umuri al-mukhtalafi fiha” (putusan hakim atau penetapan pemerintah dapat menghilangkan perbedaan pendapat dan sifatnya mengikat).
Keempat, bagi masyarakat yang telah menyakini melihat bulan dan tidak diterima kesaksiaannya dihadapan pemerintah, maka ia secara individu dan orang yang menyakininya boleh berhari raya dengan sembunyi-sembuyi dan tidak boleh menghabarkan kepada orang lain, agar tidak menimbulkan fitnah.
Dalam kitab Hasyiah Ibn Abidin dikatakan:
حاشية ابن عابدين : ج ٥ / ص ٤٢٢
مطلب طاعة الإمام واجبة قوله أمر السلطان إنما ينفذ أي يتبع ولا تجوز مخالفته وسيأتي قبيل الشهادات ثم قوله التابعين قاض فتكون أو رجم الخ التعليل بوجوب طاعة ولي الأمر وفي ط عن الحموي أن صاحب البحر ذكر ناقلا عن أئمتنا أن طاعة الإمام في غير معصية واجبة فلو أمر بصوم يوم وجب
Artinya: “Menaati imam adalah wajib, perkataan mushannif (perintah penguasa dapat terlaksana), artinya harus diikuti. Tidak boleh mengingkari perintah imam, penjelasannya akan ditemukan sebelum bab syahadat. Perkataan mushannif tabi’in adalah qadhi yang dapat mencetuskan hukum atau merajam adalah alasan kewajiban menaati penguasa. Dari Hamawi bahwasanya pengarang kitab al-Bahr menuturkan seraya menukil pendapat dari imam-imam kita, bahwasanya taat pada imam adalah sebuah kewajiban selama tidak berbau kemaksiatan. Oleh karenanya, seandainya menyuruh berpuasa satu hari, maka wajib dilaksanakan.”
Begitu juga dalam kitab Al-Um dikatakan:
الأم : ج ١ / ص ٢٣٠
ولو شهد شاهدان أو أكثر فلم يعرفوا بعدل أو جرحوا فلهم أن يفطروا وأحب لهم أن يصلوا صلاة العيد لأنفسهم جماعة وفرادي مستترين ونهيتهم أن يصلوها ظاهرين وإنما أمرتهم أن يصلوا مستترين ونهيتهم أن يصلوها ظاهرين لئلا ينكر عليهم ويطمع أهل الفرقة في فراق عوام المسلمين قال وهكذا لو شهد واحد فلم يعدل لم يسعه إلا الفطر ويخفى فطره لئلا يسيء أحد الظن به ويصلى العيد لنفسه ثم يشهد بعد إن شاء العيد مع الجماعة فيكون نافلة خيرا له
Artinya: “Apabila ada dua orang atau lebih yang tidak diketahui memiliki sifat adil atau memiliki aib melakukan persaksian, maka orang-orang (masyarakat) boleh berbuka dan saya anjurkan melaksanakan shalat Ied untuk mereka sendiri, baik secara berjamaah dan sendiri-sendiri secara sembunyi, saya melarang mereka melakukan shalat Ied secara terang-terangan dan saya perintahkan agar melaksanakan shalat Ied secara sembunyi, saya melarang mereka melaksanakan shalat Ied secara terang-terangan, agar orang yang berbeda tidak mengingkari dan menimbulkan perpecahan di kalangan orang Islam. Demikian pula jika ada seorang yang tidak adil bersaksi, ia boleh berbuka dan menyembunyikannya agar tidak ada prasangka jelek padanya dan ia boleh shalat Ied untuk dirinya, setelah itu ia boleh bersaksi jika berkehendak melaksanakan shalat Ied secara jamaah dan itu termasuk sunnah yang baik baginya.” Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.