Majalahaula.id – Kajian tentang urgensi musyawarah dalam al-Qur’an tidak hanya ditemukan dalam tiga ayat yang secara tekstual menunjuk pada redaksi syura, sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun, urgensi tersebut dapat ditemukan secara kontekstual pada implementasi yang terekam dalam beberapa ayat al-Qur’an. Seperti dijelaskan dalam surat Al-Baqarah [2]: 30, tentang “musyawarah penciptaan manusia oleh Allah dan para malaikat-Nya”, dalam surat Yusuf [12]: 8-10, menjelaskan tentang “penyingkiran Nabi Yusuf oleh saudara-saudaranya”, dan juga dijelaskan dalam surat An-Naml [27]: 29-35 tentang “musyawarah dalam politik” sebagaimana bunyi ayat-ayat-Nya:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰٓئِكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْۤا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ ۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَـكَ ۗ قَالَ اِنِّيْۤ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Ayat ini mengisahkan tentang dialog yang berlangsung antara Allah Swt. dengan para Malaikat sebelum pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Dalam dialog tersebut, para Malaikat meramalkan Adam beserta anak cucunya akan membuat kerusakan di bumi dan saling menumpahkan darah. Namun, ramalan tersebut ditepis oleh Allah bahwa, tidak semua manusia memiliki watak dan sifat yang buruk seperti dugaan malaikat.
Dari dialog tersebut, dapat dipahami secara kontekstual terjadinya musyawarah antara Allah Swt. dan para Malaikat. Sesungguhnya, meski tanpa musyawarah, Allah dapat saja langsung mengangkat Adam sebagai Khalifah, sebab Allah adalah Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana. Namun, dialog yang terkandung dalam surat Al-Baqarah [2]: 30 itu adalah petunjuk bagi manusia agar mengembangkan tradisi musyawarah dalam setiap urusan penting yang akan dilaksanakan.
Berunding dan urun-rembuk
Syahdan. Musyawarah adalah perundingan dengan bertukar pendapat dari berbagai pihak mengenai suatu masalah untuk dipertimbangkan dan diputuskan, demi terciptanya kemaslahatan bersama. Urgensi musyawarah dalam kehidupan manusia, bagaikan mengambil madu dari sarang lebah. Selain berfungsi sebagai minuman yang lezat, juga berfungsi sebagai obat.
Implementasi musyawarah dalam al-Qur’an meliputi semua aspek kegiatan manusia, baik yang terkait dengan kehidupan rumah tangga, urusan keagamaan, maupun dalam penyelesaian urusan politik, inklusif taktik dan strategi perang. Di antara manfaat yang diperoleh dari musyawarah adalah, saling menghormati atas keputusan bersama tanpa disertai dengan penyesalan, meski pada akhirnya hasil keputusan tersebut tidak membuahkan pencapaian yang maksimal.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata musyawarah diartikan dengan “perundingan” atau “perembukan”. Jika ditemukan orang-orang sedang berunding atau berembuk, disebut dengan “bermusyawarah”, dan proses yang dijalankan oleh mereka disebut dengan “memusyawarahkan”. Dari segi historical language, kata musyawarah berasal dari bahasa Arab, syura, yang secara etimologis berakar pada huruf syin-wau-ra.
Menurut Ibn Faris, akar kata tersebut memiliki arti asal “menampakkan dan memaparkan sesuatu” atau “mengambil sesuatu”. Ibn Manzur mengatakan bahwa kata syura merupakan masdar dari kata syawara yang berarti mengambil madu, dikeluarkan dari sarangnya dan menyaringnya. Sementara itu, Luwais Ma’luf mengatakan bahwa syura adalah majlis yang dibentuk untuk mengomunikasikan saran dan gagasan sebagaimana mestinya yang diatur secara terorganisir.
Mengacu pada beberapa pandangan pakar bahasa Arab mengenai makna asal kata musyawarah, Prof. Quraish Shihab menegaskan bahwa makna tersebut berkembang hingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain. Termasuk pendapat. Ar-Ragib mengatakan bahwa, musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu, atau perkara yang dimusyawarahkan.
Semakin yakin, dari beberapa definisi di atas berdasarkan pendapat para pakar penulis menyimpulkan bahwa, setiap permasalahan yang di bahas secara bersama-sama untuk mencari jalan keluar dan solusi yang tepat, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Di dalam al-Qur’an terdapat tiga surat yang menjelaskan lafadz musyawarah diantaranya dijelaskan dalam surat Al-Baqarah [2]: 233, dalam surat Ali-Imran [3]: 159, dan surat Asyura [42]: 38 sebagaimana firman-Nya:
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِۢوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْۤا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّاۤ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 233).
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya bahwa, apabila pihak ayah dan pihak ibu bersepakat untuk menyapih anaknya sebelum anak itu berusia dua tahun, dan keduanya memandang bahwa keputusan inilah yang bermanfaat untuk bayi, serta keduanya bermusyawarah terlebih dahulu untuk itu dan membuahkan kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk melakukan hal tersebut. Menurut Ibnu Katsir, bahwa bila salah satu pihak saja yang melakukan hal ini di nilai kurang cukup, dan tidak boleh bagi salah satu pihak dari keduanya memaksakan kehendaknya, dalam hal ini tanpa ada persetujuan dari pihak lain.
Sedangkan menurut Quraish Shihab, ayat ini membicarakan tentang hubungan suami-istri pada saat mengambil keputusan melalui musyawarah yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga dan persoalan anak-anak mereka, seperti pemberian nafkah, pakaian, dan penyusuan anak. Kata Quraish Shihab, dalam ayat tersebut, al-Qur’an memberi petunjuk agar persoalan menyapih anak dan persoalan-persoalan rumah tangga lainnya, dimusyawarahkan oleh suami-istri.
Tidak banyak penjelasan para mufassir tentang kandungan ayat ini, terutama yang berkaitan dengan musyawarah. Intinya, surat Al-Baqarah [2]: 233 hanya menekankan pada urgensi musyawarah dalam memutuskan masalah rumah tangga. Artinya, meski menyangkut masalah rumah tangga, upaya musyawarah dan sikap demokratis harus tetap dijunjung tinggi. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.