Search

Spiritualitas ‘ILMU’ Anak

Dr. Lia Istifhama, M.E.I (Tokoh Millenial Literasi Jatim 2021 – Versi ARCI)

Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) pada tanggal 23 Juli lalu, menjadikan momentum orang tua untuk mendukung terwujudnya ‘Anak Terlindungi’ yang menjadi pondasi tercapainya ‘Indonesia Maju’. Makna Anak Terlindungi, tentunya dalam banyak aspek, diantaranya adalah melindungi masa depan anak dari potensi lost generation. Kewajiban melindungi anak, sejatinya adalah kewajiban semua orang yang dewasa, bukan hanya orang tua secara biologis.

Dalam sebuah hadis diterangkan:

لَيْسَ مِنْ اُمَّتِى مَنْ لَمْ يُبَجِّلْ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَفْرِفْ عَالِمَنَا

“Bukanlah termasuk umatku, orang yang tidak menghormati yang tua, tidak belas kasih kepada anak-anak dan memuliakan ulama’.“

Memiliki belas kasih pada anak tentunya terwujud dengan adanya keinginan dan ikhtiar menjadikan anak terlindungi. Tatkala direlevansikan pada situasi pandemi Covid 19, maka melindungi anak harus mempertimbangkan segala dampak dari pandemi. Melalui tulisan kecil ini, muncul sebuah gagasan bahwa anak terlindungi adalah melindungi atas ‘ILMU’ yang dimiliki anak. ILMU yang dimaksud adalah Iman dan imun, Logika berpikir (koginitif), Mimpi (cita-cita) anak, serta Usia anak. Tentunya akan sangat menarik dan penting, jika mengulas konsep ‘ILMU’ tersebut menjadi sebuah spiritualitas, yaitu direlevansikan dalam perspektif agama.

Iman dan Imun.

Seperti kita ketahui, bahwa situasi pandemi menjadikan imunitas (kekebalan tubuh) adalah hal penting yang harus dijaga. Namun tentunya, imunitas tidak dapat dibenarkan jika menurunkan kadar iman (tingkat religiusitas) seseorang. Dalam sebuah hadis disebutkan pentingnya kesehatan (imun) setelah aspek keyakinan (iman): “Sesungguhnya tiada sesuatu pemberian Allah sesudah keyakinan (iman) lebih baik daripada kesehatan.” (HR. Ibnu Majah).

Iman dan imun bukanlah kewajiban orang dewasa untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk anak-anak yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini, Iman adalah pondasi yang menjadi keterlekatan pertumbuhan moral anak. Jika pondasi agama baik, yaitu terdapat didikan perilaku ‘ubudiyah, maka seyogyanya moral dan tata krama anak pun berkembang positif.

Baca Juga:  SKB 3 Menteri Tentang Penggunaan Pakaian Seragam Sekolah, Ini Pandangan Pakar

Bagi anak, jika iman dan imun terjaga, maka perkembangan moral, fisik, dan psikisnya akan berkembang secara baik. Perkembangan fisik tak lepas dari asupan nutrisi dan gizi bagi anak. Tentunya, tercapainya iman dan imun yang tercukupi bagi anak, sangat ditentukan peran orang tua (kaum dewasa) adalah menguatkan hal tersebut mengingat anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Jika perkembangan mereka baik, maka menjadi stimulus terbentuknya SDM yang cerdas dan unggul menuju Indonesia maju.

Logika Berpikir (Kognitif).

Dalam hal ini, bagaimana anak memiliki pola pikir dan penalaran/pemahaman sesuai perkembangannya. Dikaitkan pendidikan, aspek ini disebut kognitif, yaitu pemikiran atau kemampuan untuk berpikir. Perkembangan aspek kognitif anak ditentukan pertumbuhan usianya. Sebagai contoh, pada usia 7-11 tahun, seorang anak mampu melakukan pengurutan, klasifikasi terhadap objek maupun situasi tertentu, hingga memahami konsep sebab-akibat secara rasional dan sistematis. Kemudian saat anak di atas 11 tahun, maka ia mampu menarik kesimpulan atas apapun yang dibaca atau dianalisanya.

Kualitas kemampuan berlogika pada anak, ditentukan dari aktivitas literasi, yaitu keterampilan membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu. Dalam pengertian tingkat keahlian tertentu, maka logika berpikir anak disesuaikan usia serta kemampuannya. Hal ini yang disebut dalam Islam adalah Rabbani, yaitu pembelajaran secara bertahap, sesuai hadis berikut:

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كُوْنُوْا رَبَّانِيِّيْنَ حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِيْ يُرَبِّيْ النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ

Ibnu Abbas berkata: “Jadilah kamu semua itu golongan Rabbani, penuh kesabaran serta pandai dalam ilmu fiqih (yakni ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hukum-hukum agama). Yang dimaksudkan “Rabbani” ialah orang yang mendidik para manusia dengan mengerjakan ilmu pengetahuan yang kecil-kecil sebelum memberikan ilmu pengetahuan yang besar-besar (yang sukar). (Shahih Bukhari).

Pentingnya mengasah logika anak juga disebabkan kemampuan menghafal yang kuat saat ditempa di usia kanak-kanak. Bekal pengetahuan dan hafalan yang cukup bagus saat seseorang masih kanak-kanak, akan menjadi bekal terbentuknya kecerdasan di usia dewasanya, dalam sebuah hadis dijelaskan:

Baca Juga:  RUU Sisdiknas Bakal Hapus Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

حِفْظُ الْغُلاَمِ الصَّغِيْرِ كَالنَّقْشِ فِي الْحَجَرِ وَحِفْظُ الرَّجُلِ بَعْدَ مَا يَكْبُرُ كَالْكِتَابِ عَلَي الْمَاءِ (رواه خاطب عن ابن عباس)

“Hafalan anak kecil adalah seperti tatahan pada batu dan hafalan orang sesudah tua adalah seperti menulis di atas air.” (HR. Khatib dari Ibnu Abbas, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 3733).

Mimpi dan Cita-cita.

Dalam agama (Islam), dijelaskan kewajiban orang tua:

اِنَّ مِنْ حَقِّ الْوَلَدِ عَلَى وَالِدِهِ اَنْ يُعَلِّمَهُ الْكِتَابَةَ, وَاَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهُ, وَاَنْ يُزَوِّجَهُ اِذَا بَلَغَ (رواه ابن النجار عن ابى هريرة)

“Sesungguhnya adalah termasuk kewajiban orang tua terhadap anaknya mengajarinya menulis, memberinya nama yang baik dan mengawinkannya apabila telah sampai umur.” (HR. Ibnu Najar dari Abu Hurairah, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 2489).

Dengan begitu, agama telah menekankan bahwa peran orang tua sangat besar membentuk pribadi positif sejak anak di usia kanak-kanak hingga usia dewasa. Terlebih, jika orang tua memahami makna syubbanul yaum rijalul ghod, yaitu pemuda sekarang yang kelak menjadi pemimpin. Maka tidak ada alasan bagi orang tua untuk mengabaikan pentingnya peran mereka menjaga kelangsungan bangsa ini. Bagaimana potret Indonesia ke depan, adalah bergantung pada bagaimana didikan yang didapat anak-anak sekarang ini.

Problem pandemi, yaitu implikasi adanya sekolah daring, sangat jelas terlihat. Ketakutan banyak pihak atas potensi lost generation, tidak dapat dianggap isapan jempol belaka. Mengingat, generasi Z (kelahiran 1995-2012) dan Generasi alpha (diatas 2012), merupakan dua generasi yang kehidupannya sangat identik dengan digitalisasi. Yang (seharusnya) menjadi pertanyaan dalam benak orang tua sekarang adalah: “Diantara youtuber dan dokter, manakah yang menjadi mimpi dan cita-cita anak?”

Akan sangat patut disesalkan, jika kemudian anak-anak memiliki brainstorming bahwa profesi dalam dunia digital terlihat lebih menarik, menguntungan, dan membanggakan. Terlebih, dunia digital tidak memiliki tuntutan tahapan pendidikan selayaknya seorang dokter ataupun profesi profesional lainnya yang menuntut tahapan waktu tempuh dan kemampuan.

Baca Juga:  Pesan Refleksi Ketua IPPNU Malang di Momen Harlah ke-68

Kita pun kemudian bertanya: “Masihkah (masih) ada anak-anak yang memiliki mimpi dan cita-cita melalui minat belajarnya?” Sedangkan pada masa kita berada dalam bangku sekolah, doktrin “Rajin belajar pangkal pandai mulia dan gapailah cita-citamu setinggi langit” sangat terpatri. Namun sekarang anak-anak lebih rajin bersentuhan dengan gadget (gawai).

Usia Anak.

Dalam Islam diterangkan sebuah hadis: “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”.

Dengan begitu, Islam telah menjadi agama rahmatan lil’alamin, yang menekankan pentingnya sikap orang tua beradaptasi pada perkembangan zaman. Direlevansikan pendidikan, kita semua mengakui bahwa digital memang menjadi core (inti) dari semua media pembelajaran. Namun seyogyanya muatan ilmu harus tetap terjaga sebagai inti dari proses pendidikan.

Peran orang tua sangat dibutuhkan dalam menjaga lingkungan anak sesuai usia mereka dengan tetap menguatkan spirit keilmuan, terlebih di era pendidikan daring (digital). Dalam hal ini, digitalisasi memang menjadi identitas perkembangan zaman, namun bukan berarti diikuti secara bebas tanpa ada filterisasi dan pemanfaatan yang tepat. Filterisasi sebagai contoh, bagaimana digital tidak sebatas hiburan semata, tapi juga sarana edukasi. Kemudian, digital dimanfaatkan sebagai sarana membangun interaksi sosial (ukhuwwah Islamiyyah), bukan sebaliknya, dipenuhi content bullying, hoax, dan hate speech. Digital pun, seharusnya mendapatkan perhatian besar agar tidak berpotensi menurunkan aspek motorik anak dan tetap memiliki fungsi membawa maslahat (manfaat), bukan mudlarat (kesia-siaan).

Pada akhirnya, menjaga Spiritualitas ‘ILMU’ Anak adalah peran penting yang bisa diambil para orang tua. Jika Iman dan imun anak terjaga, maka Logika berpikir (koginitif)-nya akan berkembang baik sehingga mereka memiliki Mimpi (cita-cita) yang positif dan kehidupan yang normal seperti perkembangan Usia-nya.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA