Majalahaula.id – Dalam surat az zariyat ayat 56 dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan jin dan manusia adalah untuk semata-mata beribadah kepada Allah taala. Peribadatan sendiri kemudian di dalam ilmu fiqih dibagi menjadi dua jenis secara garis besar yaitu peribadatan mahdhah dan ghairu mahdah. Sehingga mereka setidaknya melakukan dua jenis peribadatan itu sendiri. Kemudian dalam rangka memotivasi makhluknya, Allah memberikan keutamaan, fadhilah dan janji dari setiap peribadatan yang mereka lakukan. Intinya seseorang tidak mungkin rugi ketika menjalankan perintah dzat Yang Maha Pemurah, baik ketika tahu fadilah dari peribadatan tersebut, maupun tidak tahu sama sekali.
Biasanya fadhilah-fadhilah tersebut seringkali diterangkan dalam berbagai majelis ta’lim dan pengajian demi mengajak seseorang untuk selalu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, dan tentu itu merupakan salah satu strategi yang baik dalam berdakwah. Misalnya saja kita diajak untuk rutin membaca Al Quran supaya mendapat syafaat dari ayat yang kita baca, lalu shalat tahajud, dan shalat hajat supaya hajat kita terkabul, atau shalat dhuha , membaca waqiah dan sedekah supaya rezeki kita terus mengalir dan kaya raya. Fadilah-fadilah lain juga sering digunakan dari aspek keilmuan yang lain, missal secara medis gerakan shalat itu adalah gerakan paling bagus untuk tubuh, lalu puasa ramadhan adalah detoksifikasi tubuh paling baik sehingga ketika kita melakukan semua itu secara ilmu tersebut, kita akan sehat.
Sebenarnya tidak masalah untuk mengetahui fadhilah-fadhilah tersebut, namun yang perlu kita sadar bahwa pertama bahwa secara fikih tidak semua ibadah itu memiliki hukum wajib, sehingga tidak tepat kalau kemudian atas dasar fadilah-fadilah tersebut kita lalu memaksakan ibadah tersebut yang sebenarnya tidak wajib menjadi berhukum wajib. Kedua, hubungan kita dengan Allah tetaplah hamba, bukan rekan bisnis. Maksudnya adalah ketika melakukan peribadatan tersebut ternyata Allah tidak langsung memberikan fadilahnya, apakah lantas kita berhenti? Misalnya saja kita shalat dhuha, sedekah, dan membaca waqiah dengan harapan cepat kaya namun ternyata Allah belum mengabulkan seketika apakah lantas kita berhenti saja? Lalu bagaimana jika kita sudah shalat tertib dan puasa dengan istiqamah ternyata malah kita tidak kunjung sehat, seperti yang dikatakan ilmu medis? Apakah kita lantas berhenti? Lalu untuk siapa peribadatan itu? Tentu kita masih ingat kasus salah satu ustadz ternama yang seoalah memastikan kalau kita melakukan sedekah “pasti” akan kaya, sebab Allah akan membalas berkali-kali lipat sebagaimana surat Al Baqarah ayat 261.
Padahal kita juga tahu ada juga Surat Al Ankabut ayat 2 yang berbunyi Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji? (QS Al-Ankabut: 2). Yang Mengingatkan kita bahwa orang-orang yang mengaku beriman pun akan diuji, jangankan manusia biasa seperti kita, Nabi Muhammad saja yang ibadahnya paling paripurna sekalipun juga diberi cobaan yang sebegitu rupa. Oleh sebab itu kita tidak bisa memastikan bahwa ketika melakukan peribadatan tertentu, sekonyong-konyong langsung mendapatkan fadhilahnya, bisa saja kita diuji dahulu sebelum mendapatkan fadhilah yang dijanjikan dan kita harus yakin bahwa Allah akan membalas kebaikan yang kita kerjakan, namun terserah Allah kapan membalasnya, bukankah kita ini hamba? Mana pantas memaksa Tuhan? . Lagi pula kalau motivasi kita beribadah hanya karena ingin mendapatkan fadhilahnya saja rasa-rasanya ibadah kita bukan seperti hamba kepada Tuhannya, melainkan lebih mirip transaksional “Ya Allah saya sudah beribadah, sekarang mana fadhilahnya, Ya Allah saya sudah sedekah, sekarang mana rezekinya”
Sekali lagi tidak masalah kalau motivasi awal beribadah adalah untuk dunia, sebab itu pun sudah masuk dalam kategori ikhlas, meskipun dalam tingkatan paling rendah. sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Nawawi Al Bantani dalam kitab Nashaihul Ibad bahwa ikhlas dibagi menjadi tiga: Karena Dunia, Karena Akhirat, lillahi ta’ala. Sehingga kalau memang kita benar-benar beriman peribadatan itu seharusnya mampu meningkatkan rasa ikhlas kita yang awalnya duniawi, ke ukhrawi dan berujung kepada kesadaran kita sebagai hamba yang membuat kita beribadah ke dalam tingkatan ikhlas paling tinggi lillahi ta’ala sebagaimana Syair Rabi’ah Al Adawiyah yang monumental itu. Dan ini berarti bahwa apapun yang terjadi, kita melakukan peribadatan semata-mata karena Allah yang memerintahkan, hanya mengharap ridha Allah, hanya mengharap rahmat Allah, sebab ikhlas tertinggi adalah lillahi ta’ala.
*Penulis : Mohammad Afin Masrija, S.H.I.
*Guru MAN 2 Kota Kediri.