Majalahaula.id – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyebut bahwa pemerintah tengah berencana untuk menyetop suntik dana ke Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Dia menjelaskan bahwa nantinya dana anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 20%, yang setiap tahun dialokasikan untuk dana abadi yang dikelola LPDP, akan diallihkan untuk kebutuhan anggaran riset, sektor pendidikan, hingga pengembangan perguruan tinggi.
Untuk diketahui, saat ini dana abadi yang dikelola LPDP telah menyentuh Rp139 triliun dari alokasi anggaran pendidikan sebanyak 20% dari APBN di setiap tahunnya.
“Kami sedang tinjau apa harus diteruskan LPDP Itu dengan jumlah yang sudah hampir Rp140 triliun itu. Jadi mungkin kita stop dulu jadi anggaran pendidikan 20% nanti sepenuhnya bisa digunakan untuk membenahi pendidikan termasuk riset dan alokasi pengembangan pendidikan perguruan tinggi bisa ditingkatkan,” ujarnya Selasa (16/1/2024).
Lebih lanjut, Muhadjir menjelaskan bahwa setiap tahun pemerintah menyisihkan hingga Rp20 triliun untuk dana abadi LPDP yang ditujukan demi meningkatkan kebutuhan pendidikan, khususnya bagi penerima manfaat beasiswa.
Oleh sebab itu, dia mengatakan terkait dengan dana abadi yang berada di LPDP nantinya akan dikembangkan melalui imbal hasil manfaat investasi. Meskipun tidak mendapat suntikan dana pada tahun ini, dana abadi masih dapat bertambah melalui ragam instrumen keuangan yang akan dijajaki oleh LPDP.
“Kan itu dana permanen, yang digunakan hanya manfaatnya, bunganya, hasil kelola anggaran yang itu. Sebetulnya sisa dari manfaat itu yang belum terserap untuk bantuan pendidikan bisa dimasukkan juga buat dana abadi, sehingga nanti LPDP tetap jalan,” tuturnya.
Ketua Dewan Penyantun LPDP tersebut juga mengatakan pemerintah telah meminta pengelola untuk lebih berani melakukan investasi pada instrumen yang berisiko tinggi.
Muhadjir menjelaskan bahwa imbal hasil yang didapatkan akan makin besar dan bisa digunakan untuk lebih banyak memberikan beasiswa kepada masyarakat.
“Saya juga kan Ketua Dewan Penyantun kemarin kita sepakati, kita harus berani investasi ke tempat yang agak berisiko dan menguntungkan. Yang penting risikonya terukur. Misalnya ke sektor riil, selama ini saham sudah untuk sukuk, untuk surat berharga, kan itu relatif aman, tapi sisi manfaatnya tidak tinggi kan,” pungkas Muhadjir.
Untuk diketahui, dari sisi anggaran penelitian atau risetnya (research and development/R&D), berdasarkan laporan dari lembaga R&D World, pada 2022 ada US$2,476 triliun dana riset di seluruh dunia atau meningkat 5,43% dibandingkan 2021 yang mencapai US$2,348 triliun. Posisi pertama ditempati oleh Amerika Serikat (AS) dengan pengeluaran kotor untuk riset sebesar US$679,4 miliar. China berada pada posisi kedua dengan pengeluaran kotor litbang mencapai US$551,1 miliar. Jepang berada di posisi ketiga dengan pengeluaran kotor US$182,2 miliar pada 2022. Posisi keempat dan kelima ditempati Jerman dan Korea Selatan dengan pengeluaran kotor untuk riset masing-masing sebesar US$143,1 miliar dan US$106,1 miliar pada 2022. Pada periode yang sama, Prancis memiliki pengeluaran kotor untuk riset hingga US$68,5 miliar, India di US$65,2 miliar, dan Inggris US$54,9 miliar, sedangkan Rusia mencapai US$52,2 miliar, dan Brasil di posisi kesepuluh dengan anggaran US$37 miliar.
Sayangnya, dari 40 negara yang ditampilkan R&D World, Indonesia duduk di bangku nomor 34 dengan penganggarannya sebesar US$8,2 miliar pada 2022. Bahkan, Indonesia adalah negara dengan rasio penganggaran riset terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) paling rendah, yang hanya sebesar 0,24% pada 2022. Kendati rasionya meningkat cukup signifikan dibandingkan pada 2013 yang hanya mencapai 0,1% PDB, alokasi anggaran untuk R&D di Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara maju