Majalahaula.id, Singapura – Acara Penerimaan Mahasiswa Baru Universitas Terbuka Pokja Singapura digelar di aula Sekolah Indonesia Singapura, Minggu (3/9/2023). Para mahasiswa baru tersebut adalah pekerja migran Indonesia di Singapura.
Koordinator Pokja UT Singapura, Fajar Krisna mengatakan bahwa jumlah mahasiswa baru Universitas Terbuka (UT) Pokja Singapura di tahun ajaran baru ini ada sekitar 45 orang. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Mereka semua adalah pekerja migran Indonesia yang sedang bekerja di Singapura.
”Animo kawan-kawan pekerja migran Indonesia untuk kuliah di UT meningkat drastis,” kata Fajar yang juga guru fisika di Sekolah Indonesia Singapura.
”Selain karena promosi gencar yang dilakukan asosiasi mahasiswa UT, juga karena kesadaran akan perlunya upgrading pendidikan mereka,” tambah Fajar lagi.
Peningkatan tingkat pendidikan menjadi salah satu cara untuk menambah posisi tawar pekerja migran Indonesia di Singapura. Mulai tahun 2023 ini, pemerintah Singapura mulai merekrut tenaga kerja terdidik dari Indonesia, pada sektor kesehatan, dengan rekruitmen tenaga perawat untuk bekerja pada sektor kesehatan. Hal inilah yang menumbuhkan kesadaran baru di kalangan pekerja migran Indonesia pada sektor domestik.
”Menempuh pendidikan sarjana adalah salah satu pilihan yang tepat,” papar atase pendidikan dan Kebudayaan KBRI Singapura, IGAK Satrya Wibawa, saat membuka acara penerimaan mahasiswa baru UT Pokja Singapura.
Fleksibilitas waktu, masa kuliah, serta ringannya biaya pendidikan yang ditawarkan UT menjadi formulasi yang tepat bagi pekerja migran yang sebagian besar harinya dihabiskan untuk bekerja.
”Menjadi mahasiswa UT menunjukkan pekerja migran kita punya kelebihan lain yang sangat langka, yaitu manajemen waktu dan manajemen masa depan,” puji Satrya.
Berdasarkan aturan ketenagakerjaan di Singapura, pekerja migran di sektor domestik hanya memiliki satu hari libur setiap minggunya. Belum lagi jam kerja mereka yang sangat padat, sehingga seringkali mereka belajar di tengah malam usai bekerja, atau di hari Minggu yang menjadi satu-satunya hari libur.
”Mahasiswa yang bukan pekerja migran setiap waktunya dipergunakan untuk kuliah, sedangkan pekerja migran harus mengatur waktu sedemikian rupa agak bisa kuliah di tengah kesibukan bekerja,” tambah Satrya.
Siti Mujiati, seorang mahasiswa yang juga ketua asosiasi mahasiswa mengatakan, ia dan teman-temannya sering belajar berkelompok hingga tengah malam menggunakan zoom. Terkadang sampai tertidur di depan komputer.
Namun, ia mengatakan bahwa teman-temannya sangat ingin mengubah nasib dan masa depan menjadi pekerja terdidik dan punya keahlian khusus. Kehadiran UT sangat membantu para pekerja migran ini. Jumlah 45 orang tersebut sebetulnya masih sangat kecil dibandingkan angka seratusan ribu pekerja migran Indonesia di Singapura.
”Namun, angka ini menjadi signifikan karena merekalah yang akan menjadi contoh bagi para pekerja migran lainnya,” jelas Pardamean, koordinator pendidikan luar negeri UT melalui media zoom saat memberikan materi pada acara tersebut.
Singapura juga dianggap tinggi peminatnya sehingga menjadi pusat acara penerimaan mahasiswa baru UT dari negara lain, seperti Amerika, Korea, dan beberapa negara Eropa.
”Singapura dapat menjadi salah satu pokja yang diandalkan untuk membantu target capaian sejuta mahasiswa Universitas Terbuka,” tambah Pardamean yang disambut dengan tepuk tangan meriah dari para mahasiswa baru UT yang hadir.
Rata-rata, prodi yang diambil adalah yang disesuaikan dengan posisi kerja mereka, seperti penerjemahan bahasa inggris, akutansi, komunikasi, serta manajemen bisnis.
”Banyak mahasiswa UT pokja Singapura akhirnya punya sampingan, seperti photografer atau penerjemah, karena dibantu dengan ilmu yang mereka dapat dari UT,” pungkas Satrya.
(Mg06)