Majalahaula.id – Pakar menilai pemerintah saat ini belum menggandeng ilmuwan untuk mengatasi masalah polusi udara. Hasilnya, kebijakan yang keluar untuk menangani polusi jauh dari kata efektif.
Ika Idris, Chair Monash Climate Change Communication Research Hub (MCCCRH) Indonesia Node mengatakan narasi mengenai polusi udara di Jakarta sangat didominasi oleh pembuat kebijakan yang minim dukungan data ilmiah. Alih-alih polusi berkurang, pembuat kebijakan yang berbicara tanpa data justru membuat kabur penyebab polusi.
“Di tengah krisis udara bersih, jika pemerintah tidak tahu langkah apa yang mesti diambil, mestinya mereka mengundang ilmuwan dan mendengarkan masukan mereka,” kata Ika dalam keterangan tertulisnya, Selasa (29/8).
Ika menyebut saat ini pemerintah blunder dengan menerapkan kebijakan tanpa mengetahui akar masalahnya. Menurutnya sejauh ini solusi dari pemerintah hanya solusi jangka pendek
“Pemerintah terkesan ingin solusi jangka pendek saja, bukan solusi jangka panjang yang sampai ke akar masalahnya. Pemerintah juga tidak transparan menyampaikan sebenarnya sumbernya polusinya dari mana saja, misal berapa persen kontribusi dari kendaraan atau berapa dari PLTU,” jelas dia.
Sementara itu, sejauh ini ia tidak melihat ada ilmuwan yang dijadikan rujukan. Berkaca dari pandemi, pemerintah lagi-lagi tidak menganggap penting suara ilmuwan.
Ika menambahkan dalam pantauan pihaknya melalui Factiva, platform pemantauan berita milik Dow Jones, suara ilmuan masih sebatas diwakili oleh dokter atau dokter spesialis paru. Padahal masalah ini sudah mencakup isu kesehatan penduduk, sehingga perlu melibatkan ilmuwan dari berbagai bidang diantaranya teknik lingkungan, kesehatan publik, perubahan perilaku, transportasi, modifikasi cuaca, dan energi bersih.
Selain itu, menurut dia menghadapi masalah genting seperti ini pemerintah perlu mendengar masukan ilmuwan dan utamanya data-data ilmiah.
Ia kemudian mencontohkan kebijakan-kebijakan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menangani polusi di Ibu Kota hampir tidak pernah mengacu pada usulan ilmuwan serta tidak jelas basis pengambilan kebijakannya, dan tidak konsisten.
“Jika kita amati, kebijakan menutup pabrik arang, bekerja dari rumah bagi Aparatur Sipil Negara Pemprov DKI, hingga uji coba penyemprotan mist generator dari atas gedung, hampir tidak pernah dijelaskan landasan ilmiah pengambilan keputusannya,” ungkap dia.
Peneliti Meteorologi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Deni Septiadi sebelumnya juga sempat menyampaikan mengenai sejumlah langkah yang diambil pemerintah dalam menangani masalah polusi. Salah satunya ia sangsi dengan langkah penyemprotan air berkabut atau water mist dari atap gedung.
Sejak masih berbentuk usulan akhir pekan lalu, Deni meragukan opsi ini untuk mengurangi polusi udara di Jakarta.
Menurut Deni menyemprotkan air dari atas gedung merupakan cara instan yang tidak bakal memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan kualitas udara.
“Cara-cara instan nggak akan berdampak. Jakarta dan sekitarnya hampir setiap tahun jadi kota berpolusi, karena kebijakan atau regulasinya hampir selalu jangka pendek,” ungkap Deni.
Deni mengungkap kadar polutan PM2,5 yang menyelimuti sejumlah kawasan Jakarta itu, mengambang di Lapisan Batas Atmosfer (LBA) dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan.
Menurut dia pemerintah seharusnya melakukan identifikasi terlebih dahulu dari mana sumber emisinya sebelum melakukan penindakan.
“Apakah itu dari sektor transportasi, industri atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Harusnya diidentifikasi nih, setelah itu tinggal dicarikan regulasinya,” jelas dia.