Majalahaula.id – Jika kita berjalan jalan ke daerah Jombang, mungkin tidak heran jika menemukan banyak pondok pesantren yang tersebar nyaris di semua kecamatan di daerah santri ini. Karena itu wajar jika dari daerah ini pula banyak terlahir kiai kiai besar yang berpengaruh dalam pembinaan dan Pendidikan bangsa Indonesia.bisa dicontohkan nama nama seperti KH Hasyim Asy’ari dari pesantren Tebuireng, KH Wahab Hasbullah dari pesantren Tambak Beras, KH Bisri Syansuri dari pesantren Denanyar, KH Mustain Romli dari pesantren Rejoso Peterongan. Belum lagi pesantren yang ada di pelosok-pelosok desa. Jumlahnya cukup banyak.
Salah satu diantaranya adalah pondok pesantren Tarbiyatun Nasyiin di dusun Pacul Gowang, desa jatirejo kecamatan diwek. Namun orang lebih mengenal nya dengan sebutan pesantren Pacul Gowang. Dari sudut lokasi, pesantren ini memang tidak sama dengan pesantren yang disebut di atas. Yang rata rata di perkotaan, atau paling tidak sangat mudah untuk menjangkau ke daerah perkotaan. Pesantren Pacul Gowang bisa dibulang berada di pedesaan. Namun demikian, karena pesantren ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan pesantren lain di Jombang, yaitu dengan menerapkan kurikulum salafnya, tetap saja dicari orang. Meskipun berada di pedesaan, banyak santri yang tetap ingin belajar di pesantren yang kini diasuh oleh KH M Abdul Aziz Manshur. “kalau gula itu manis, pasti semut akan datang sendiri,” kata Kiai Aziz membuat perumpamaan.
Dedikasi dan semangat kiai Manshur tidak terbatas pada pengajian kitab kuning secara sarasehan. Bahkan lebih dari itu, ia juga merintis system sekolah yang terbagi dalam beberapa kelas. Karena itu, pada tahun 1931 kiai Manshur mendirikan diniyah. Materi pelajaran diambil dalam kitab kitab salaf. Kelebihan dari system ini, pelajaran disampaikan dengan system tertulis dan ditambahi keterangan secara mendalam.
Pada awal berdirinya, madrasah ini diselenggarakan di serambi masjid, yang kemudian dipindah ke Gedung baru yang terletak di depan masjid. Saat itu semua jam pelajaran dimulai sesudah maghrib, tetapi kemudian diubah menjadi setelah dhuhur. Sejak perubahan itu, siswa madrasah semakin banyak. Kiai Manshur ini wafat pada tahun 1982.
Sepeninggal kiai Manshur kepemimpinan pesantren dipegang oleh KH M Aziz Manshur. “sewaktu hidup, ayah berpesan agar para santri diajari ngaji. Sebab orang yang telaten mulang ngaji itu sudah Langkah,” ujar Kiai Aziz pada waktu itu, menantu kiai Marzuki ini masih ikut mengajar di pesantren Lirboyo dan mengkaji kitab Fathur Munir dan Fathul Wahab. Akhirnya, para santri yang dibimbing di Lirboyo ditawari 2 pilihan, tetap di Lirboyo atau ikut Kiai Aziz mengkhatamkan kitab yang dibaca.
Konsisten Dengan Sistem Salaf
Untuk kurikulum, terbagi menjadi dua: pertama, kurikulum yang ditangani oleh pengurus pondok pesantren. Kedua, kurikulum yang ditangani oleh pengurus madrasah yang terbagi dalam dua tingkatan, yaitu Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Pengadaan kurikulum memang sengaja hanya khusus mengajarkan pelajaran agama yang mengacu pada kurikulum di pondok pesantren Lirboyo dengan modifikasi modifikasi seperlunya.
Dipesantren ini, karena sudah menjadi itikad sejak awal berdirinya untuk mengajarkan ilmu agama, maka kegiatannya dibagi menjadi dua, pertama, kegiatan primer, yaitu jenis kegiatan yang mendalami dan memahami isi kandungan kitab kuning secara langsung dari teks aslinya, sehingga sesuatu yang menunjang suksesnya kegiatan tersebut turut pula diwajibkan.
Berangkat dari ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajibun. “mulai menginjak Tsanawiyah para santri sudah harus menghafal alfiyah ibnu malik, sehingga diharapkan setelah keluar para santri sudah bisa membaca kitab kuning dengan baik,” ujar kiai Aziz.
Kedua, kegiatan sekunder, yaitu kegiatan kegiatan yang dapat menunjang kiprah para santri. Seperti pelatihan kepemimpinan jurnalistik, agrobisnis, penanganan Kesehatan, kunjungan ke panti asuhan dan sebagainya. Dengan begitu, diharapkan para santri mampu berkiprah di berbagai bidang dengan tidak meninggalkan kemampuan dibidang ilmu agama.
Kegiatan santri terhitung selama 24 jam. “bahkan tidurnya santri saya anggap sebagai satu bentuk kegiatan juga,” kata kiai Aziz. Sebab menurut kiai Aziz, tidur secara syariat itu maksimal 8 jam sehingga jika ada santri yang tidur lebih dari waktu itu berarti tidurnya bisa dinilai merah. Santri juga dilatih bisa hidup mandiri. Kadang kadang santri diajak ke sawah oleh kiai Aziz untuk berlatih menanam padi dan bercocok tanam tanaman yang lainnya.
Menurut kiai Aziz, selama ini tidak mengalami kendala berarti. Untuk kedepan Kiai Aziz tetap mengembangkan pesantren dengan perhatian utama terhadap ilmu agama. Ia berprinsip al muhafadhotu alal qadimis shalih, atau tetap menggunakan pola lama yang baik. Kalau toh ada wal akhdu bil jadidil aslah, dilakukan modifikasi seperlunya.