Majalahaula.id – Hadirnya ChatGPT dari Open AI sedang ramai diperbincangkan, ada yang memandangnya sebagai peluang emas ada juga yang menilai ini adalah sebuah ancaman.
Dosen dan Kelompok Keahlian Informatika, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, Dr. Eng. Ayu Purwarianti, S.T, M.T., mengatakan, ada beberapa risiko yang harus dipertimbangkan ketika memanfaat ChatGPT, misalnya seputar regulasi, isu plagiarisme, dan etika dalam pemanfaatan ChatGPT, khususnya dalam lingkup akademik.
“Sebenarnya ChatGPT bermanfaat banget buat membantu kita belajar, tapi memang harus berhati-hati akan tujuan kita menggunakannya. Kalo misalnya mahasiswa disuruh bikin esai dengan tujuan supaya bisa memiliki kemampuan analisis yang lebih tinggi, serta lebih kritis dan kreatif maka jangan menggunakan ChatGPT. Silakan membuat esai dengan kalimat sendiri dan nanti dibandingkan dengan hasil ChatGPT,” ucapnya.
Dr. Ayu mengingatkan untuk lebih bijak lagi dalam menggunakan ChatGPT sebagai alat untuk belajar, karena risiko ChatGPT juga sangat banyak. Resiko pertama yaitu, tidak akuratnya informasi dan jawaban yang diberikan oleh ChatGPT, sehingga diharapkan agar pengguna melakukan validasi atau mencari sumber lain yang lebih terpercaya dalam mencari suatu informasi.
Risiko yang lain yaitu, terkait plagiarisme yang mana kita tidak tahu sumber data dan jawaban yang diberikan oleh ChatGPT. Sehingga untuk beberapa kasus yang terkait dengan hak cipta, seperti pembuatan buku dan copywriting, jangan memberikan ChatGPT untuk melakukan take over karena tetap tanggung jawab terakhir ada pada manusia.
Risiko selanjutnya juga dapat menimbulkan potential misuse, karena ChatGPT dapat kita tanya untuk membuat kode program seperti jailbreak atau sesuatu yang memang untuk menelusuri security.
Tetapi dengan semua risiko yang ada, sangat sulit juga untuk menahan pengembangan ChatGPT, karena saat ini malah banyak orang yang berlomba-lomba dalam mengembangkan sesuatu seperti ChatGPT dengan harga yang lebih rendah.
European Union (EU) menganggap ChatGPT sebagai sesuatu yang high risk, dan di Indonesia sendiri belum ada aturan spesifik terkait penggunaan ChatGPT. UNESCO sendiri sudah memberikan rekomendasi terkait risiko penggunaan AI, tetapi kesiapan setiap negara berbeda-beda untuk dapat mengikutinya. “Setiap institusi memiliki caranya sendiri dalam menyikapi ini,” pungkasnya.
Saat ini memang ada tools check plagiarism, tetapi untuk cek hasil dari ChatGPT cukup sulit karena target dari generator yaitu membuat text yang semirip mungkin dengan manusia, jadi untuk melihat suatu text adalah buatan mesin atau manusia dari gaya tulisnya biasanya tidak berhasil.
Munculnya regulasi untuk mengatur penggunaan ChatGPT adalah langkah penting untuk menavigasi era baru interaksi manusia-mesin. Dengan mengadopsi regulasi yang tepat, kita dapat memanfaatkan potensi luar biasa ChatGPT sambil menjaga kepentingan dan keamanan pengguna.