Majalahaula.id – Di lingkungan pesantren, sangat banyak tradisi dan budaya yang unik dan penuh filosofi. Semua itu tercipta dari kreativitas akal manusia yang tinggal di pesantren yang terbentur dengan sosio kultur, salah satunya yakni bancik.
Bancik merupakan pengganti sandal yang ada di pesantren. Yang sering digunakan para santri untuk menapak kaki lalu lalang di dalam pesantren. Sehingga mereka tidak perlu memakai sandal.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) bancik adalah kuda-kuda dari kayu yang menahan berat gendang, biasanya berbentuk seperti dua huruf X yang dihubungkan titik.
Jika di KBBI bancik merupakan penahan dari gendang, maka di pesantren bancik merupakan penahan kaki atau alas kaki.
Kenapa perlu adanya bancik? Mengingat banyaknya jumlah santri, bahkan mencapai puluhan ribu, dan masing-masing pasti memerlukan alas kaki berupa sandal.
Dikhawatirkan ketika semua santri berkumpul di dalam gedung, maka bisa saja sandalnya tertukar atau dighosob (meminjam tanpa izin). Sehingga ketika sudah tertukar atau dighosob, maka akan sulit menemukan sandal tersebut dengan jumlah santri yang puluhan ribu.
Maka untuk menghindari hal tersebut pesantren membuatkan bancik yang sangat banyak, sehingga santri tidak memerlukan sandal pun kakinya tetap suci dan tidak khawatir nyeker (telanjang kaki).
Untuk memudahkan semua santri, jalur-jalur yang penting bagi santri dibuat bancik, seperti antara kamar mandi dengan kamar tidur, dari kamar sampai masjid, dari kamar sampai sekolahan, dari masjid sampai aula.
Dibuatnya dengan berjarak-jarak atau seperti garis terputus-putus, mengikuti keumuman lebarnya langkah kaki santri. Sehingga tidak ada bancik yang bentuknya seperti trotoar di jalan raya.
Dalam sejarahnya, bancik sudah ada sejak pertama kali pesantren hadir di Indonesia. Jadi tradisi bancik sudah sangat tua sekali. Dan budaya seperti ini biasanya masih dilestarikan di pondok pesantren, masjid, mushala, dan tempat-tempat yang memerlukan terjaganya kesucian khusus.
Dahulu, bancik hanya terbuat dari susunan batu kali, kemudian berkembang menjadi batu bata, dan sekarang banyak menggunakan semen dan keramik.
Dari bentuknya ada yang bulat, ada yang persegi sama sisi, persegi panjang dan tidak beraturan. Asalkan bisa muat dengan telapak kaki dan kokoh, maka sudah cukup menjadi sebuah bancik.
Dari segi fungsi yang paling penting, bancik diciptakan menghindari maksiat. Pertama maksiat ghosob (memakai sandal tanpa izin dan tidak ada niatan memilikinya). Sehingga akan menimbulkan keghosoban yang lainnya.
Kedua, menghindari dari nyeker. Karena jika para santri nyeker, kakinya menginjak tanah, maka menjadi najis. Dan ketika mereka langsung masuk kamar, masjid, dan aula tanpa mencuci kaki, maka kamarnya, masjidnya dan aulanya ikut menjadi najis.
Sehingga ketika semua menjadi najis dan digunakan untuk ibadah seperti shalat, maka shalatnya tidak sah.
Karena umumnya jika santri sandalnya hilang dan putus, dia tidak akan langsung membeli atau mengganti, justru dikhawatirkan ia akan menghosob dan nyeker, sehingga bisa menimbulkan maksiat.
Dari pemaparan diatas, fungsi yang paling penting dari budaya bancik adalah menghindari santri untuk bermaksiat. Baik bermaksiat yang berkaitan dengan kesucian ibadah, maupun maksiat yang bersifat muamalah kepada sesama manusia.