Search

Piagam Surabaya AICIS 2023 Menolak Keras Politik Identitas

Majalahaula.id – Annual International Conference on Islamic Studies atau AICIS ke-22 yang digelar di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya ditutup Kamis (04/05/2023). Dari pertemuan yang menghadirkan sejumlah cendekiawan dari berbagai negara tersebut menghasilkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya.

Rumusan Surabaya Charter dibacakan Rektor UINSA Surabaya, Ahmad Muzakki di auditorium kampus setempat. Turut mendampingi saat pembacaan rekomendasi, Mohd Roslan bin Mohd Nor dari Malaysia, Eka Sri Mulyani (Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh) dan pembicara kunci asing lain.

“Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras. Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama,” katanya saat membacakan poin rekomendasi.

Baca Juga:  PBNU Beri Ketentuan Pelaksanaan Konferwil dan Konfercab NU

Ahmad Muzakki menjelaskan Surabaya Charter bertujuan menjawab tiga hal. Pertama, bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat ini dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan. Kedua, bagaimana fikih bisa menjadi landasan bagi peradaban manusia yang menempatkan manusia sejajar satu sama lain. Ketiga, bagaimana fikih harus menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai.

Jawaban itu tertuang dalam enam rekomendasi Piagam Surabaya, yaitu: Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan. Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih. Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.

Baca Juga:  Keresahan Warga terhadap Poster Caleg yang Rusak Lingkungan

Selanjutnya, keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua. Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras. Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama. (Ful)

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA