Majalahaula.id – Wakil Presiden (Wapres) RI ini menanggapi soal kemungkinan perbedaan tanggal perayaan Idul Fitri antara Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pada tahun 2023. Menurutnya, kemungkinan perbedaan itu merujuk kepada kriteria penetapan 1 Syawal.
“Ini sudah lama diupayakan untuk bisa bertemu tapi belum ada metode yang bisa menyatukan. Oleh karena itu, maka yang ditempuh adalah adanya sikap bisa toleransi antar dua kelompok ini,” katanya dari tayangan YouTube Sekretariat Wapres, Jumat (14/04/2023). “Untuk masing-masing, ya Lebaran sesuai dengan keyakinannya dengan hitungannya. Jadi, bahasa Jawanya legowo lah. Dan itu sudah kita lakukan bertahun-tahun,” katanya lagi.
Dirinya mengakui, awalnya memang ada sedikit konflik karena perbedaan metode penentuan 1 Syawal itu. Namun, seiring berjalannya waktu dan terus adanya sosialisasi, maka NU dan Muhammadiyah bisa saling menghormati. “Dulu pertama memang agak konflik sedikit yang antara metode ini ribut, tapi belakangan tidak karena kita terus sosialisasi, edukasi, sekarang rukun-rukun saja,” kata Ma’ruf. “Sambil terus mencari metode yang mempertemukan dua metode ini imkanur rukyat dan wujudul hilal,” ujarnya lagi.
Diberitakan sebelumnya, tanggal untuk merayakan hari Lebaran atau Idul Fitri tahun 2023 kemungkinan akan mengalami perbedaan antara Muhammadiyah dan NU. Dalam SKB 3 Menteri terbaru, Hari Raya Idul Fitri 1444 H jatuh pada 22 dan 23 April 2023. SKB tersebut juga telah ditetapkan cuti bersama Lebaran 2023 mulai 19 April. Sementara versi Muhammadiyah, 1 Syawal 1444 H jatuh pada Jumat, 21 April 2023.
Sebagaimana termaktub dalam Surat Maklumat Nomor 1/MLM/I.0/2023 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah 1444 Hijriah. Adapun untuk NU penetapan 1 Syawal dilakukan berdasaran kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal MABIMS. Sehingga, penetuan Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran 2023 menunggu hasil sidang isbat pemerintah yang dilakukan pada 20 April 2023. Dan dengan perbedaan yang ada, hendaknya tetap untuk menjaga harmoni dan memaknai perbedaan secara bijak. Yakni memandang perbedaan sebagai rahmat atau kurnia yang tentu saja bergantung kepada umat dalam menanggapinya. Namun demikian, diharapkan direspons masyarakat dengan bijak. (Ful)