Majalahaula.id – Kiai Zamzami Sabiq Hamid, Sekretaris Pengurus Cabang (PC) Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) Sumenep menjelaskan, kasus kekerasan di pesantren bermula dari perundungan dan tindakan agresif yang dilakukan oleh beberapa oknum.
Pernyataan tersebut disampaikan saat menggelar blusukan dalam rangka mengkampanyekan anti perundungan guna mewujudkan pesantren yang ramah di Pondok Pesantren (Ponpes) Mathlabul Ulum Jambu, Lenteng, Sumenep, Senin (30/01/2023).
Kiai Zamzami melaporkan, tingkat kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan 84 persen siswa mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah. 40 persen siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya, 50 persen anak melaporkan mengalami perundungan di sekolah, 45 persen siswa laki-laki dan 22 persen perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan.
“Data ini perlu dijadikan tolak ukur, kasus kekerasan dan perundungan masih ada di lembaga pendidikan. Dan perlu disikapi serius oleh pengelola agar tidak viral lagi di media sosial,” katanya.
Wakil Pengasuh Ponpes Nasyrul Ulum Aengdake, Bluto ini menerangkan, perundungan adalah perilaku agresif yang terjadi secara terus-menerus, di mana satu atau sekelompok orang dalam posisi berkuasa dengan sengaja mengintimidasi, menyalahgunakan, atau memaksa individu lain dengan maksud menyakiti korbannya secara fisik maupun emosional.
Lebih lanjut, Kiai Zamzami mengurai 4 jenis perundungan. Pertama berbentuk verbal yang berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritikan kejam dan penghinaan. Kedua berbentuk fisik yang berupa memukul, menendang, menampar, mencekik serta merusak barang milik korban.
“Sedangkan yang ketiga berbentuk sosial yang berupa pengabaian dan pengucilan korban di lingkungan sosial. Keempat berbentuk cyber yang berupa bullying yang dilakukan melalui sarana elektronik,” terangnya.
Sebab, munculnya perilaku bullying bermula dari tradisi turun menurun dari senior, balas dendam karena dulunya sering menjadi korban. Terlebih ingin menunjukkan kekuasaan dan kekuatan yang dianggap menghina kelompok.
“Juga dorongan untuk mendapatkan kepuasan, kecewa karena orang lain tidak seperti yang dia inginkan,” paparnya.
Dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk ini menegaskan, bullying memiliki dampak negatif. Di antaranya adalah kesakitan fisik dan psikologis, kepercayaan diri yang merosot, malu, trauma, merasa sendiri, serba salah, takut sekolah dan mengasingkan diri dari sekolah, menderita ketakutan sosial, timbul keinginan untuk bunuh diri dan mengalami ganggunan jiwa.
“Untuk mencegahnya, budayakan tindakan saling menghargai, sosialisasi terkait bullying,” pintanya.
Jika perlu deteksi tindakan bullying sejak dini, berikan peraturan yang tegas terkait bullying, ajarkan korban untuk melawan atau melapor, ta’zir di pesantren harus mendidik dan menghindari kekerasan.