Majalahaula.id – Jombang melahirkan banyak seorang tokoh, baik dari kalangan ulama laki-laki maupun perempuan dilihat dari seberapa besar manfaat yang ditebar di masyarakat. Begitu pula dengan sosok Bu Nyai Hj Nur Khodijah.
Perjuangan mendidik kaum perempuan tak kalah dengan perjuangan Pahlawan Nasional, Raden Ajeng (RA) Kartini. Pasalnya, Bu Nyai Hj Nur Khodijah merupakan pendiri Pondok Pesantren Putri pertama di Indonesia.
Bersama dengan sang suami, KH Bisri Syansuri, Bu Nyai Hj Nur Khodijah memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan setara dengan kaum laki-laki.
Dalam penuturan Nyai Hj Muhashonah Hasbullah yang disampaikan oleh putrinya, Nyai Hj Muniroh Iskandar, ada 3 kategori santri putri yang diterima oleh Bu Nyai Hj Nur Khodijah.
Pertama yaitu santri tetangga yang merupakan para tetangga Bu Nyai Hj Nur Khodijah atau masyarakat sekitar Jombang yang ingin menuntut ilmu agama kepada beliau.
Kedua, santri yang dalam masa akan dinikahkan. Santri yang akan menikah akan diajarkan beberapa kebutuhan yang diperlukan di masyarakat, misalnya diajarkan diba’an, doa khataman Qur’an, dan seterusnya.
“Dalam hal inilah, Nyai Hj Nur Khodijah memberikan catatan tentang salah satu santrinya yang menikah itu, bahkan lengkap dengan data hari, weton dan tahun,” tutur Nyai Hj Muniroh Iskandar dalam acara Sarasehan Bu Nyai Inspiratif di Pondok Putri Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Sabtu (21/01/2023)
Yang terakhir, yaitu santri dengan kategori yang sedang ada masalah keluarga misalnya diceraikan suami atau suaminya meninggal.
“Santri kategori ketiga, dipondokkan agar dapat mengelola tekanan batinnya, atau menghilangkan stresnya,” imbuh Nyai Hj Muniroh.
Dalam acara Sarasehan tersebut juga dihadirkan testimoni berupa rekaman video dari Nyai Hj Mu’tamaroh dan Nyai Hj Mahfudzoh yang merupakan keponakan dari Bu Nyai Hj Nur Khodijah.
Nyai Hj Mahfudzoh menjelaskan, bahwa saat Bu Nyai Hj Nur Khodijah mengajar, Ia sangat telaten dan sabar.
“Suatu ketika saya agak bandel ngajinya dan nggak bisa-bisa. Beliau hanya berkata Ya Allah hiihhhh dek,” jelasnya.
Kala itu, meskipun hari Jumat tetapi tidak ada libur. Menurut penjelasan Nyai Hj Mahfudzoh, hari Jumat adalah waktunya para santri beliau diterjunkan ke masyarakat langsung.
“Tidak ada kata libur. Jumat pun santri diterjunkan ke masyarakat, kalau tidak begitu ya kita melakukan ro’an atau bersih-bersih,” imbuhnya.