Search

Bahaya Luka karena Lisan

Majalahaula.id – Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menyampaikan betapa pentingnya manusia menjaga mulutnya dari perkataan buruk yang menyebabkan pertikaian, permusuhan, dan lain sebagainya. Manusia diciptakan berbeda-beda untuk bisa saling mengenal. Hal ini bisa diwujudkan bila manusia saling menghormati, tidak sembarangan menyalahkan.

“Ucapan lisan (mulut) itu jauh lebih tajam daripada pedang. Kalau lisan melukai orang, lebih tajam, lebih mendalam. Luka sebab pedang, sebab senjata mungkin satu bulan, dua bulan, tiga bulan sembuh, tapi luka karena lisan, lukanya hati karena ucapan, bisa setahun bisa dua tahun enggak sembuh-sembuh,” katanya sebagaimana dikutip dari tayangan “Jagalah Lisanmu – KH. Miftachul Akhyar”.

Baca Juga:  Halaqah Fikih Peradaban di Tebuireng Bahas Nasionalisme ala KH Hasyim Asy'ari

Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya itu kemudian mengutip pepatah Bahasa Arab yang artinya, “Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan.” Karena itu, pria yang akrab disapa Kiai Miftah ini mengingatkan umat Islam agar jangan sembarangan saat berbicara. “Harus dijaga. Ada istilah mulutmu adalah harimaumu. Perkataan bisa menjadi senjata tajam yang dapat menyakiti orang lain jika tidak dijaga,” jelas Kiai Miftah.

Menurut Kiai Miftah, sesama anggota tubuh saling memengaruhi manusia untuk mendorong melakukan perbuatan. Baik tercela maupun terpuji. Dan mulutlah yang akan menjadi kunci atas kehendak anggota tubuh tersebut. Melakukan atau sebaliknya. “Setiap hari kita ini tidak merasa bahwa lisan kita ‘didemo’. Siapa yang ‘demo’? Ya anggota tubuh kita sendiri selain lisan. Maksudnya, lisan kita ini didemo oleh anggota tubuh yang lain, karena lisan ini yang pegang bendera, lisan ini yang menjadi penentu. Baik dan tidaknya anggota tubuh kita apa kata lisan,” ungkapnya.

Baca Juga:  Sederet Keunggulan Ini Antarkan Pergunu Lumajang Juarai PWNU Jatim Award 2019

Mulut tidak selalu mengatakan apa yang sesungguhnya. Bisa jadi ucapannya itu tidak selaras dengan fakta yang sebenarnya. Karena itu, mulut tidak bisa menjadi tolok ukur atau alat kepercayaan satu-satunya untuk bisa mengungkap sebuah fakta. “Makanya nanti di akhirat, yang nyerocos itu bukan mulut, mulut sudah dikunci, lalu anggota lain yang berbicara,” pungkas Kiai Miftah.(Vin)

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA