Majalahaula.id – Lebih dari 33.000 warga Nahdlatul Ulama (NU) dari seluruh penjuru Jawa Timur, hari ini membanjiri Kota Gresik Jawa Timur. Para Nahdliyin itu ambil bagian dalam Apel Akbar 30.000 Kader NU yang digelar di Lapangan Sidayu Gresik untuk menyambut rangkaian kegiatan 1 Abad NU.
Acara hari ini dimulai sejak jam 03.00 dini hari dengan menggelar istighosah kubro aurod mbah Romli Tamim dari Pesantren Rejoso yang dipimpin oleh Kiai Ishom dari Pandanaran Pasuruan. “Selanjutnya Ijazah Kubro 3 aurod. Pertama aurod mbah Kholil Bangkalan akan diberikan oleh KH Abdul Adhim Kholili, Bangkalan. Lalu kedua aurod mbah Hasyim Asyari Tebuireng yang akan diberikan oleh KH Fahmi Amrulloh Tebuireng, dan ketiga Aurod mbah Matin yang akan diberikan oleh KH Abdul Matin Jawahir dari PP Bejagung Tuban,” jelas Panitia Peringatan 1 Abad NU Koordinator Bidang Apel Kader, Muhammad Faqih kepada AULA.
Barulah setelah itu acara puncak yakni Apel kader diawali dengan Pidato Bupati Gresik Fandi Akhmad Yani dan Taujihat dari Ketua Tanfidiyah PWNU Jawa Timur, KH. Marzuki Mustamar, yang sekaligus bertindak sebagai inspektur upacara.
Faqih yang kini menjabat sebagai Wakil Rektor UNUSA ini menjelaskan, peringatan 1 abad NU di Jawa Timur yang mengambil bentuk mujahadah, istighosah dan ijazah kubro termasuk apel kader digunakan sebagai sarana menyambung sanad keagamaan dan sanad perjuangan kepada para pendahulu. “Oleh karena itu mujahadah kubro yang pertama diselenggarakan di Makam Kiai Muhammad Kasan Besari Ponorogo, yang beliau itu adalah seorang ulama yang menjadi guru dari para pemimpin pemerintahan kesultanan Mataram pada saat itu,” ujarnya .
Yang kedua istighotsah kubro dan Apel Kader ini memilih Gresik dan Sidayu dengan alasan yang sama. Di Gresik ini adalah pusat pemerintahan Kanjeng Sunan Giri Kedaton, yang dari generasi ke generasi melawan penjajah. “Sunan Giri merupakan seorang Ulama dan sekali gus pemimpin negara, suatu kondisi yang mirip dengan para Khulafaurrasyidin masa sahabat Nabi,” tukasnya.
Ulama yang Umaro ini juga dilanjutkan oleh Bupati Sidayu yang ke 8 yaitu Kanjeng Sepuh. Kanjeng Sepuh adalah ulama yang sejak usia 14 tahun sudah menimba ilmu agama di Makkah dan ketika menjadi Bupati Sidayu meniru perilaku khalifah Umar bin Khottob. Sang Bupati melakukan perjalanan malam hari untuk mengetahui keadaan warganya dan membantu meringankan beban mereka. Dalam hal menghadapi penjajah Belanda juga sangat konsisten, salah satu peninggalannya adalah pembentukan paasar Kabehan di Surabaya dalam rangka menolak diskriminasi pajak Pemerintah Kolonial bagi pedagang Pribumi.
“Perjuangan seperti itu perlu digali kembali nilai-nilainya dan diaktualisasikan untuk menghadapi perjuangan masa kini dalam konteks yang lebih kompleks bagi kader-kader NU,” pungkas Faqih. (Vin)