Banyuwangi, AULA – Pimpinan Anak Cabang (PAC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Blimbingsari, Kabupaten Banyuwangi menggelar kaderisasi formal tingkat kedua, yakni Latihan Kader Muda (LAKMUD), pada 06 Februari 2021. Dalam kaderisasi tersebut menyuguhkan 15 materi bagi peserta, salah satunya ke-Indonesia-an.
Moh. Awang Nuryaddin anggota departemen kaderisasi PW IPNU Jawa Timur, selaku pemateri ke-Indonesiaan menegaskan bahwa di tingkat LAKMUD sampai jenjang kaderisasi terakhir, Ke-Indonesiaan akan tetap dibahas. Sebab menjadi urgensi nasionalisme bagi pelajar bangsa.
“Ke-Indonesiaan bukan hanya soal Indonesia secara nation state dan obyek nasionalisme saja, tapi lebih daripada itu. Yakni tentang keteguhan bangsa memegang falsafah negerinya. Terutama NU yang memprioritaskan nasionalisme sejak sebelum terbentuknya NU itu sendiri, sampai terbentuk dan mempertahankan Pancasila,” ujar Awang.
Pembahasan terkait ke-Indonesiaan yang disinergikan bersama Nahdlatul Ulama menerangkan histori NU (khususnya ulama) dalam rangka mengawal kemerdekaan dan menentukan asas. Bahkan salah satu Kiai NU, yakni KH. Wahid Hasyim menjadi salah satu tokoh yang berpengaruh dalam gantinya 7 kata pada Pancasila, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan bertransformasi demi utuhnya NKRI dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”.
“Ulama NU itu termasuk yang mengawal kemerdekaan Indonesia. Jadi, nasionalisme NU tidak boleh diragukan lagi” imbuh Awang.
Forum LAKMUD tidak dibuat se-formal seminar, sehingga Awang lebih interaktif dengan peserta. Setelah beberapa poin ke-Indonesiaan dijelaskan, Awang menginstruksikan kepada peserta agar membentuk kelompok dan menjelaskan beberapa persepsi Gus Dur yang masih relevan. Dengan tema ke-Indonesiaan sebagai breakdown dari bahasan KH. Wahid Hasyim sebelumnya.
Sholeh Muria, salah satu peserta delegasi dari Pimpinan Komisariat Perguruan Tinggi (PKPT) IPNU IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi, merupakan presentator dari konsep demokrasi ala Gus Dur. Penjelasan yang bermuara dari hasil diskusi bersama kelompoknya menarik kesimpulan bahwa demokrasi, menurut Gus Dur tidak keluar dari 3 poin, yaitu persamaan, kebebasan, dan keterbukaan.
“Gus Dur dengan segala misteri kontroversi pemikiran dan perilakunya yang tidak semua orang memahami maksud. Namun di era mutakhir ini sebagian terbukti, entah karena weruh sakdurunge winarah atau karena kebetulan, mengartikan demokrasi sebagai sistem yang mengejawantahkan 3 tiga nilai luhur, yakni persamaan, kebebasan, dan keterbukaan,” ucap Sholeh.
Persamaan, bagi Gus Dur adalah mengenai pandangan Tuhan sebagai Khaliq kepada makhluk-Nya. Bahwa semua makhluk, khususnya manusia sama-sama memiliki potensi kekuatan dan kelemahan. Kekuatan yang bermakna memiliki potensi berbuat baik dan kelemahan yang berarti berpotensi berbuat buruk. Bahwa yang membedakan antar satu manusia dengan yang lain adalah ketakwaan.
Di tengah berjalannya manusia sebagai manusia yang setara (sama), berikut kebebasannya sebagai manusia. Yakni tentang tanggung jawab yang dimiliki setiap manusia sama. Manusia berhak bebas dari segala belenggu. Bebas menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan hal baik, dan lain-lain.
”Jadi, persamaan dan kebebasan masih saling berkaitan. Dari manusia yang sama-sama di mata Allah Swt. yang akhirnya memantik untuk membebaskan diri dari segala cengkraman duniawi dengan menyampaikan dan melaksanakan perilaku yang arif dan bijaksana. Dan poin ketiga, yaitu keterbukaan. Tak mungkin manusia hidup dalam perbuatan dan persuasi kebaikan itu menjadikan manusia sebagai individualis. Ia perlu membuka diri dengan individu maupun kelompok lainnya dalam rangka menikmati proses dan dinamika. Karena yang indah di dunia ini adalah dinamika” jelas Sholeh dalam presentasinya.
Begitu dalamnya pemikiran Gus Dur tentang demokrasi yang tidak hanya tentang Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Intinya kembali kepada rakyat saja. Misteriusnya Gus Dur yang tak disadari menambah khazanah pemikiran di bumi Nusantara ini ternyata sangat berpengaruh terhadap perkembangan bangsa Indonesia.
“Demokrasinya Gus Dur lebih dari teori kembali ke rakyat. Bahkan, kalau di Gusdurian, muncul sebuah statemen bahwa ketika buku adalah jendela dunia, maka cukup dengan membaca buku Gus Dur atau buku seseorang yang membahas tentang pemikiran Gus Dur untuk bisa melihat dunia” pungkas Sholeh.
Dari presentasi Sholeh, Awang memberikan konklusi bahwa sampai saat ini NU dan Nasionalisme tidak mungkin bertentangan. Gus Dur sebagai elemen agamis yang merepresentasikan NU penuh dengan kedamaian melalui pemikiran tentang demokrasinya yang sejalan dengan sistem pemerintahan yang diimplementasikan di Indonesia.
“NU dari dulu sudah sangat nasionalis. Nasionalisme NU terhadap Indonesia di tataran kiai-intelektual seperti Gus Dur yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia pun menawarkan demokrasi yang berwujud kedamaian seperti yang disampaikan Sholeh. Ini menandakan bahwa Ke-Indonesiaan dalam koridor politik ataupun sistem politik demokrasi sebenarnya sangat indah sebagaimana agama Islam yang cinta damai,” pungkasnya.