Majalahaula.id – Sebagai salah satu rangkaian memperingati 1 Abad Nahdlatul Ulama, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kini tengah melangsungkan Halaqah Fikih Peradaban di 250 pesantren se-Indonesia. Halaqah dimulai di Krapyak, pada Agustus 2022 dan puncaknya akan digelar Muktamar Internasional Fikih Peradaban di Jakarta, Januari tahun 2023.
Ketua Panitia Nasional Halaqah Fikih Peradaban KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menyebutkan, Muktamar Internasional Fikih Peradaban itu akan mengundang para kiai dan ulama sedunia. Rencananya, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) akan mendorong agar tercipta ijma’ (kesepakatan) ulama atau disebut sebagai Konsensus Jakarta. Terdapat empat isu yang akan dibahas dan diputuskan dalam Muktamar Internasional Fikih Peradaban itu.
Pertama, menolak khilafah.
Menurut Gus Ulil, isu ini memang sudah menjadi posisi NU dan ulama kebanyakan di dunia. Meski begitu, hingga kini belum pernah ada kesepakatan ulama antarbangsa untuk menolak khilafah sebagai sistem politik negara. Di dalam Muktamar Internasional Fikih Peradaban itu, para ulama sedunia akan didorong untuk membuat sebuah kesepakatan menolak khilafah sebagai sistem politik karena tidak sesuai dengan peradaban dunia saat ini.
“Teks-teks (fikih) di dalam tradisi kita yang mengarah pada sistem ini akan dibaca ulang. Semangatnya melakukan kritik, peninjauan ulang, atau re-thinking,” ujar pengampu Ngaji Ihya di Youtube ini.
Kedua, mendudukkan kembali hubungan antara hukum syariat dengan hukum positif negara.
Gus Ulil menegaskan, ketika bangsa Indonesia menerima Pancasila dan NKRI sebagai sistem politik bernegara maka konsekuensinya adalah menerima hukum positif negara yang diproduksi oleh parlemen. “Tidak boleh menabrakkan hukum syariat dengan hukum positif. Bahkan hukum positif ini lebih menjadi standar kehidupan bersama, karena ini hukum yang dijadikan hukum negara. Sementara hukum syariat adalah hukum yang eksklusif hanya untuk umat Islam saja. Jadi Gus Yahya mendorong agar hukum syariat dirumuskan,” jelas Gus Ulil.
Ketiga, kedudukan negara bangsa.
Meski para ulama di Indonesia sudah menerima sistem negara bangsa, tetapi PBNU hendak menjadikan kedudukan negara bangsa ini sebagai sebuah konsensus global yang akan disepakati oleh para ulama sedunia.
“Kita menerima negara bangsa, sebagai bentuk pengelolaan kehidupan politik umat Islam di era modern. Karena kita menerima negara bangsa, maka menolak khilafah. Karena kita menerima negara bangsa, kita menerima hukum positif yang ada di negara itu,” tegas Gus Ulil.
Keempat, soal perang dan damai.
Bahasan ini menjadi sangat penting di dalam kerangka negara modern, terkait pemahaman perang atas nama agama yang mengakibatkan banyak nyawa melayang. Lebih dari itu, pada isu ini, dibahas pula soal kedudukan jihad di dalam Islam, serta masalah-masalah seputar minoritas. “Sebetulnya (jihad, minoritas, perang dan damai) sebagai gagasan sudah selesai. Banyak orang sudah selesai mendudukkan, tetapi sebagai konsensus bersama yang disepakati, belum ada. Itu yang nanti akan diputuskan di Jakarta. Termasuk nanti masalah minoritas juga akan dibahas,” terang Gus Ulil.
Seluruh bahasan yang akan menjadi konsensus para ulama sedunia itu berawal dari gagasan dan pandangan para kiai pesantren dalam Halaqah Fikih Peradaban. Di dalam setiap halaqah, pihak pesantren diharapkan memberikan rekomendasi bahasan berupa naskah akademik kepada PBNU untuk dibahas dalam Muktamar Internasional Fikih Peradaban.(Vin)