Search

Halaqah Fikih Peradaban, Indonesia Sudah Negara Darul Islam

halaqah fiqih

Majalahaula.id – Halaqah Fikih Peradaban, salah satu rangkaian acara memperingati 1 Abad usia Nahdlatul Ulama (NU) akhir pekan lalu digelar di Pondok Pesantren Syaichona Cholil Bangkalan, Jawa Timur. Halaqah kali ini mengangkat tema “Fikih Siyasah dan Negara Bangsa” dihadiri Direktur Aswaja NU Center Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin, pengurus Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU, Gus Ahmad Kholili Kholil dan Ketua Pengurus Cabang NU (PCNU) Bangkalan RKH Muhammad Makki Nasir.

Kiai Ma’ruf Khozin menyebut negara Indonesia yang menganut ragam agama sudah sesuai jika dikatakan sebagai negara Islam. “Negara kita Indonesia ini sudah sesuai darul Islam, dalam arti bukan darul kuffar dan bukan darul haq,” kata Kiai Ma’ruf.

Baca Juga:  Hadiri Konferensi, PCNU Pati Ingatkan Tantangan Masa Depan

Ditambahkannya, sebuah negara bisa dikatakan sebagai darul Islam ketika umat Islam yang ada di negara tersebut bisa menjalankan syariat Islamnya. Maka negeri tersebut bukan lagi darul kuffar, dan bukan darul haq. “Di Indonesia ini, apa ada yang menghalang-halangi panjenengan (Anda) salat? Tidak ada. Berarti di Indonesia ini bukan lagi darul kuffar, bukan lagi darul haq,” tegasnya.

Di negara Indonesia tidak bisa menjalankan praktik Islam secara utuh, seperti menjalankan hukum kisas, hudud, dan lainnya. Hal itu karena Indonesia mempunyai aturan dan undang-undangnya sendiri. Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia hanya diharuskan menjalankan syariat Islam sesuai dengan kemampuannya selama tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam.

Baca Juga:  Menanti Nahdlatul Ulama yang Lebih Milenial

“Jika Anda menemukan anaknya tetangga mencuri lalu mau dipotong tangannya, Oh ndak bisa. Itu harus pidana. Dan hari ini, ketika kita tidak mampu untuk melakukan itu, kita tidak dituntut. Kenapa? Karena orang yang tidak mampu melaksanakan maka tetap dinilai sebagai menjalankan syariat Islam secara kaffah,” ucapnya.

Hal ini sama halnya ketika seseorang mengerjakan salat yang pelaksanaannya wajib berdiri. Maka, ketika orang tersebut tidak mampu, ia kemudian mengerjakannya dengan duduk. Salat yang dilakukan dengan cara duduk itu sudah dianggap Islam kaffah karena kemampuannya hanya sampai di situ.

“Jadi, sekali lagi jangan kemudian mengkafirkan negeri hanya karena belum ada kisas dan lain sebagainya, karena ini adalah ranah negara. Ketika kita tidak mampu, maka kewajiban kita hanya sebatas sesuai dengan kemampuan,” jelas Kiai Ma’ruf Khozin.(Vin)

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA