Majalahaula.id – Halaqah Fikih Peradaban sebagai salah satu gelaran rangkaian Peringatan Satu Abad NU yang digagas Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), digelar di di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Sabtu (17/9/2022). Kali ini halaqah mengangkat tema “Fikih Siyasah dan Negara Bangsa.”
Rektor Universitas Malang (Unisma) Prof Masykuri Bakri mengatakan, Pendiri Nahdlatul Ulama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sangat mendukung ideologi Pancasila atau nasionalisme yang didasarkan pada Pancasila. Masykuri menjelaskan bahwa ada tiga aspek penting yang terdapat di dalam nasionalisme ala Kiai Hasyim Asy’ari itu. Ketiganya itu adalah aspek politis, sosial-ekonomi, dan kultural.
Pada aspek politis, jelas Masykuri, dapat dilihat dari cara Kiai Hasyim Asy’ari yang ingin menumbangkan dominasi politik asing. Lebih dari itu, Kiai Hasyim tak segan untuk mengangkat derajat kaum terjajah demi membangun sebuah negara yang berkeadilan. “Siapa pun yang berada di dalam negara Indonesia wajib membela dan haram memecah-belah NKRI. Konsep ini dibicarakan oleh Hadratussyekh karena beliau cinta terhadap perdamaian,” jelas Masykuri saat menjadi pembicara di Halaqah Fikih Peradaban di Tebu Ireng.
Selain itu, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengembangkan konsep husnul muamalah, yakni dengan menjadi pengayom seraya mengajak pihak lain untuk hidup secara damai. Ditambahkannya, bahwa Kiai Hasyim Asy’ari menghendaki agar Indonesia berdiri berdasarkan moral, etika, dan akhlak. Hal ini terbukti dalam peristiwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Pancasila. Tujuh kata yang dimaksud itu adalah ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Kemudian, jelas Prof Masykuri, Kiai Hasyim Asy’ari melaksanakan shalat istikharah selama tiga hari untuk memohon petunjuk Allah. Setelah itu, Kiai Hasyim pun merestui agar tujuh kata tersebut dihapus demi menegakkan Indonesia di atas moral, etika, dan akhlak. “Dasar utamanya, negara kita ini harus ditegakkan di atas moral, di atas etika, di atas akhlakul karimah untuk menjaga persatuan dan kesatuan di tengah-tengah perbedaan,” ungkapnya.
Termait aspek sosial-ekonomi, nasionalisme Hadratussyekh Kiai Hasyin Asy’ari menghendaki agar tidak ada lagi eksploitasi yang dilakukan oleh asing. Dengan kata lain, Kiai Hasyim hendak membangun masyarakat yang bebas dari kemiskinan. “Caranya, mengajak masyarakat sekitar untuk mengembangkan pertanian dan peternakan agar para masyarakat sejahtera,” tutur Masykuri. “Aspek ketiga yaitu kultural. Beliau ingin menghidupkan kembali tradisi lokal yang sesuai dengan zamannya,” tambah Prof Masykuri.
Di samping itu, Prof Masykuri berpesan kepada seluruh pelajar di Indonesia agar tidak terpengaruh oleh kelompok transnasional yang telah masuk ke dalam negeri. Masykuri mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada satu pun ayat yang menyebutkan kewajiban mendirikan negara Islam. “Bahkan dalam Piagam Madinah dijelaskan tentang cara menghargai perbedaan dalam sebuah bangsa agar orang-orang dalam bangsa itu bisa hidup damai,” tuturnya.
Sementara itu, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) mengatakan bahwa Halaqah Fikih Peradaban sangat penting untuk digelar di tengah zaman yang semakin modern. Lebih-lebih di era informasi yang kurang beraturan, sehingga membuat bingung dalam mencari kebenaran.
Gus Kikin berharap, agenda Halaqah Fiqih Peradaban yang digelar PBNU dalam rangkaian peringatan Harlah 1 Abad NU di 250 titik pesantren se-Indonesia itu dapat menghasilkan berbagai pemikiran yang dapat dipakai sebagai landasan berpikir. “Sehingga menjadikan negara ini menjadi negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik dan penuh ampunan Allah – red),” harap Gus Kikin.(Vin)