Majalahaula.id – Rangkaian Halaqah Fikih Peradaban dalam menyambut 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU), kali ini dipusatkan di Pondok Pesantren Darus-Sunnah Ciputat, Tangerang Selatan, Minggu (11/09/2022). Halaqah bertajuk ‘Fikih Siyasah antara Perang dan Damai’ ini salah satunya membahas konsep Negara Islam.
Pakar Tafsir dari Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta Nyai Hj Nur Rofiah menjelaskan, konsep negara Islam yang dimaksud mengadopsi nilai Rahmatan Lil Alamin. Menurutnya, Islam merupakan sikap yang berkaitan dengan status manusia sebagai hamba Allah. Inilah yang disebut sebagai tauhid.
Lebih lanjut, Nur Rofiah mengatakan bahwa nilai tauhid itu menghendaki agar seseorang tidak menghamba kepada apa dan siapa pun selain Allah. Juga tidak akan menghamba kepada Allah sembari menghambakan diri kepada siapa dan apa pun selain Allah. Di samping itu, setiap manusia juga punya amanah sebagai Khalifah Fil Ardh yang bertugas untuk mewujudkan kemaslahatan secara luas di muka bumi. Nur Rofiah menekankan bahwa keislaman sebuah negara ditentukan dari keteguhan tauhid dan dibuktikan dengan perwujudan kemaslahatan seluas-luasnya.
Karena itu, lanjut Nur Rofiah, negara Islam bisa dipahami sebagai negara berketuhanan Yang Maha Esa lalu segenap komponen bangsa bekerja sama untuk membuktikan ketauhidan itu dengan mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh warga negara, tanpa terkecuali. “Inilah Islam Rahmatan Lil Alamin yang diyakini NU, siapa pun yang ingin mewujudkan keislaman sebuah negara maka harus berpegang erat kepada konsep tauhid, lalu membuktikan tauhid itu dengan mewujudkan kemaslahatan di muka bumi, baik bagi Muslim maupun non-Muslim,” ungkap Nur Rofiah.
Nur menambahkan, berislam merupakan sebuah proses untuk mengubah sistem kenegaraan yang zalim agar bergerak menuju sistem yang islami. Bagi NU, negara adalah washilah untuk mewujudkan kemaslahatan yang dianjurkan Islam.
Dijelaskannya, sistem kehidupan yang dikehendaki Islam adalah menjadi anugerah bagi semesta, bukan secara eksklusif hanya bagi Muslim tetapi inklusif bagi siapa pun. Dengan demikian, musuh agama dalam konteks ini bukan Muslim dan Non-Muslim, melainkan siapa pun yang berbuat kezaliman. “Muslim berbuat zalim, berarti kezalimannya itu menjadi musuh dari Islam. Non-Muslim tidak membuat kezaliman berarti dia tidak sedang menjadi musuhnya Islam,” ungkap Doktor Tafsir jebolan Universitas Ankara, Turkiye itu.