Pondok pesantren Ringinagung, merupakan pusat studi Islam yang besar di lingkungan daerah Pare-Kediri. Berdiri di atas tanah seluas 2,5 hektar, dengan jumlah santri putra 1500 orang dan santri putri 300 anak, yang menempati pelbagai kamar dan daerah-daerah menurut kota asalnya. Pendidikan sekolah yang ada di situ, meliputi: taman kanak-kanak, ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah status swasta.
Yang unik di pondok Ringinagung ini, yakni sistem pemandian dan kolam santri, sama sekali tidak mengenal menimba air atau sistem penyedotan diesel, Tapi pengairan di situ cukup rapi dan spefik, air yang jernih setiap musim itu, cukup dialirkan dari kali yang bersumber dari danau di sebuah gunung, dan santri bebas leluasa mandi di kolam, yang mengalir deras dan sengaja dipasang dimuka kamar masing-masing, sebanyak 5 buah kolam.
Kitab-kitab kuning yang dibaca: Ihya Ulumuddin, Fiqh al-Machally, Bukhari Muslim, Iqna’, Hikam, Nihayatuz Zien, dan Fatchul Mu’in. Selain itu, di pondok Ringinagung ada grup diskusi khusus yang membahas isi Kitab Taqrib dan Fatchul Mu’in, dilaksanakan setiap hari Selasa dan Jumat, diasuh oleh Ustadz Syamsuddin. Kedua kitab itu, merupakan pokok ajaran matahab Syafi’iyali, dinilai paling pertIK NOTIL penting untuk ditekuni dan dimengerti Isinya. Karena pengunus pondok berkeyakinan, dengan pokal Mu’in dan Taqrib, santri akan selalu berhaluan Salafiyah Syafi’iyah secara konsekuen, tidak mudah luntur dengan haluan Tajdid mana pun.
Kamar-kamar pondok disesuai-daerah asalnya, seperti: Bali, Riau, Banjar, Sulawesi, Cirebon, Banten, Ponorogo, Yogyakarta, Banyumas, Sunda, Tasikmalaya, Ponorogo, Jember, Tulungagung, Tuban, Banyuwangi, atau sejumah 22 kompleks, masing-masing kompleks itu terdiri dari 10-12 kamar, setiap kamar dihuni antara 10-15 santri. Setiap saat merka diwajibkan jamaah, kemudian mengaji kitab-kitab sesuai dengan tingkatan dan kemampuannya.
Santri dan siswa sekolah sebanyak itu, ditangani oleh 55 tenag pengajar. Selain juga mengaji kitab, yang diasuh Kiai-kiai yang menjadi sesepuh pondok Ringinagung, yaitu: Kiai H. Abdul Hadi, Kiai H. Moh. Zaed Abd. Hamid, Kiai H. Ahmad Chozien, Kiai H.Ahmad Shoubari. Masing-masing kiai itu, mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri, ada yang ahli tafsir, ahli Fiqh-Hadis, dan Kiai Chozin ahli Ilmu Falak, mempunyai beberapa santri ahli seperti Gus Abd. Choliq. Yang mampu menemukan dan menebak dari kelahiran seseorang, yang cuma berbekal tahun kelahiran dan harinya saja. Suatu prestasi yang jarang dikuasai santri-santri lain.
Selain sibuk pengajian kitab kuning. Ringinagung sebagai pusat berkumpulnya tarikat Syadliliyah, yang digerakkan oleh Kiai sepuh H. Abdul Hadi. Tarikat itu, jamaahnya berdatangan dari se antero kabupaten Kediri, Pare dan Jombang, bahkan Tulungagung dan Blitar, yang berpusat di masjid jamik pondok itu. Selain tarikat Syadziliyah, juga aktif beribadah di bidang tarikat Naqsyabandiyah-Qadiriyah.
Aktivitas Pondok
Di masa hayat Kiai Imam Nawawi itu, pondok Ringinagung mengalami zaman kegemilangan, menjadi pusat perhatian umat Islam dari pelbagai daerah. Setiap saat masyarakat berdatangan untuk ikut mengaji kitab-kitab kuning yang dibaca Kiai Nawawi di muka santrinya. Di antara kitab yang dibaca, yaitu: Tijandurari, Tafsrifam,Jurumiyah dan Tafsir Jalalain dan Hadis Bukhari-Muslim. Selain santri-santri harus tekun menyimak-pelajaran, di saat lain dia harus hafal kitab yang dibaca itu.
Tercatat Mbah Nawawi memimpin pondok Ringinagung selama 35 tahun, masuk mulai tahun 1865, sampai wafatnya tahun 1908 bersama istrinya Nyai Landep, yang ketika itu dikaruniai 3 orang putra Pertama Gus Burhan, kedua Nyai Safurah dan Nyai Murrah. Sebetulnya Kiai Nawawi akhirnya menjadi seorang hartawan dan serba kecukupan, tapi tak bermental materialis.
Terbukti Kiai Nawawi, tidak pernah mengurusi harta bendanya, tapi dilaksanakan oleh Nyai Landep, sedang beliau memilih kehidupan model sufi, tidak kumpul keluarganya, tapi bermukim di gubug reot sebelah barat masjid. Tapi sayang, putra lelakinya Gus Burhan tidak berumur panjang, padahal dialah yang diidam-idamkan menjadi penerus pimpinan pondok.
Tapi untunglah, Kiai Nawawi masih punya 2 orang anak putri, dari Nyai Safurah bisa menurunkan 7 orang putra-putri, dari Nyai Murrah dikaruniai 8 anak, sehingga sampai kapan pun Ringinagung tak kehabisan generasi penerus dan pewaris. Dan ketika Kiai Nawawi wafat, bulan Maulud tahun 1908 itu, langsung digantikan putra dan cucu menantunya yang cukup banyak, yaitu: Kiai H. Abd. Hamid, KH. Abd. Hadi, KH. Moh. Hasyim, KH. Ahmad Shoubari.