Indonesia memiliki tanah subur yang cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Oleh karena itu, Indonesia sering kali disebut negara agraris. Namun sayangnya, minat generasi muda untuk menjadi petani semakin menipis. Mereka cenderung memilih bekerja di gedung perkantoran. Akibatnya, regenerasi petani berputar sangat lambat atau bahkan tidak bergerak sama sekali.
Jika berbicara tentang petani, tentu mereka adalah subjek penting dari ketersediaan produk pertanian. Dan petani juga yang menopang kebutuhan pokok dalam hidup masyarakat. Hal ini selaras dengan pernyataan Ustadz Bukhari, Pengasuh Pondok Pesantren Ihya’us Sunnah Jember.
“Petani adalah subjek penting bagi kesinambungan ketersediaan produk pertanian. Namun kenyatannya, profesi petani kurang diminati,” katanya pada Selasa (17/11/2020).
Atas dasar tersebut, Pondok Pesantren Ihya’us Sunnah, Dusun Sumbercanting, Desa Tugusari, Kecamatan Bangsalsari, Kabupaten Jember mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Teknologi Pertanian di tahun 2016. Menurutnya, pendirian sekolah ini sebagai respons atas keluhan masyarakat terkait tergerusnya minat remaja untuk menekuni bidang pertanian dan perkebunan.
“SMK ini sebagai jawaban atas keinginan masyarakat agar generasi muda tertarik untuk belajar pertanian dan perkebunan. Selain itu, ini upaya kami agar anak-anak bisa sekolah sesuai dengan potensi alam di sekitar Tugusari,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ustadz Bukhari menjelaskan bahwa potensi alam di Desa Tugusari adalah perkebunan dan pertanian. Maka, 99 persen mata pencaharian masyarakat setempat adalah dengan berkebun kopi dan menjadi petani sawah. Potensi inilah yang seharusnya diperhatikan oleh generasi muda.
“Namun, potensi yang ada tersebut tidak akan maju tanpa regenerasi yang sistematis,” lanjutnya.
Berdirinya SMK Teknologi Pertanian yang didukung oleh potensi alam, memicu pesantren untuk membangun pabrik kopi. Adanya pabrik kopi ini bertujuan agar para siswa bisa mengaplikasikan ilmu yang didapat di SMK secara langsung.
“Para murid SMK Teknologi Pertanian itu agar tidak sekedar berteori tapi bisa mempraktikkan ilmu bertani kopi hingga cara memproduksi kopi bubuknya,” terangnya.
Kopi produksi siswa SMK Teknologi Pertanian saat ini sudah dipasarkan ke seluruh Indonesia. Bahkan, kopi yang bermerk Bikla ini bisa memproduksi dua ribu bungkus dalam satu hari.
“Jika dihitung dengan nilai rata-rata Rp. 20.000.000 perhari, berarti dalam satu bulan bisa mencapai Rp. 600.000.000,” jelasnya.
Kepala SMK Teknologi Pertanian, Muhsin Alatas menjelaskan, bahwa pihaknya akan terus berinovasi dalam meningkatkan kualitas lulusan. Dan dirinya berharap, dengan hadirnya One Pesantren One Product (OPOP) bisa membantu dalam pengembangan skill siswa dan produk. Sehingga, kurikulum agama dan vokasi bisa mencetak generasi yang unggul.
“Kami berharap OPOP dapat membantu kami dalam peningkatan skill siswa dan pengembangan produk. Sehingga siswa di sini bisa tampil sebagai sosok yang peduli terhadap pertanian dengan bingkai agama,” harapnya.