Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan ini menjelaskan soal munculnya risiko baru dampak dari terjadinya inflasi secara global. Tantangan ekonomi itu muncul akibat sejumlah dinamika dunia yang masih berlangsung hingga saat ini.
Bahkan, dalam pertemuannya dengan pihak Islamic Development Bank (IsDB) beberapa waktu lalu, Sri Mulyani mengakui jika pembahasan mengenai risiko global itu juga dirasakan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Hal itu pun sampai menjadi bahan pembahasan dalam sesi governor roundtable.
“Di mana kita membahas mengenai munculnya risiko terutama dari sisi kenaikan inflasi, karena harga-harga energi dan pangan yang akan menyebabkan pengetatan dari moneter,” katanya dalam telekonferensi, Rabu (08/06/2022).
Dia menambahkan, diskusi yang muncul di dalam sesi governor roundtable IsDB itu, menyangkut seberapa cepat dan seberapa ketat kebijakan moneter untuk menangani inflasi. Sebab, fenomena itu akan berdampak pada pelemahan dari sisi produksi.
“Termasuk yang kita prediksi di dalam pertemuan G20 nanti, bahwa pembahasan ini juga akan muncul,” ujarnya.
Menkeu menjelaskan, dalam konteks inflasi global inilah akan dilihat dampak terhadap tingginya pengetatan yang akan dilakukan. Serta terhadap pelemahan ekonomi global yang akan terlihat ke seluruh dunia.
“Dan tentunya juga pada asumsi terhadap inflasi dan nilai tukar, yang nanti akan menghadapi kemungkinan terjadinya hal tersebut,” kata Sri Mulyani.
Dalam pembahasan di IsDB itu, Menkeu juga mengatakan bahwa semua pihak sepakat jika pembahasan secara teknis mengenai masalah pertumbuhan dan tantangan global ini terkait inflasi di dunia saat ini, didominasi kontribusi dari sisi supply dibandingkan kontribusi dari sisi demand atau permintaan.
Implikasi kebijakannya adalah bahwa jika kebijakan makro yaitu fiskal dan moneter terlalu cepat atau ketat, yang tujuannya akan lebih cepat memengaruhi sisi permintaan, sebetulnya tidak akan menyelesaikan masalah di sisi supply-nya. Karena persoalan awalnya adalah dari sisi supply, yaitu dampak disrupsi pada sisi produksi akibat perang (Rusia-Ukraina) maupun pandemi Covid-19.
(Ful)