Hari raya Idul Adha sebentar lagi akan dirayakan umat Islam. Salah satu yang membedakan adalah dilakukannya menyembelihan hewan kurban.
Wakil Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini memberikan pengarahan kepada para peserta bahtsul masail yang diadakan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang membahas penyakit mulut dan kuku (PMK) yang terkait dengan hewan kurban secara daring, pada Selasa (31/05/2022).
Kiai Afif menyebutkan, pembahasan mengenai PMK pada hewan itu sangat penting dibahas. Sebab hewan kurban memiliki syarat-syarat, baik syarat umum maupun syarat khusus.
“Syarat umum adalah bahan-bahan makanan yang boleh dikonsumsi oleh umat Islam, harus suci, tidak membahayakan kesehatan fisik dan akal. Selain juga harus diperoleh melalui jalan legal atau syar’i atau yang dibenarkan secara syariat,” ungkapnya.
Menurut Kiai Afif, hal terpenting yang harus diperhatikan dari hewan kurban yang akan dikonsumsi tidak mengganggu terhadap kesehatan fisik dan akal. Sebab memelihara akal dan fisik merupakan dua di antara lima dari tujuan syariat Islam.
Lebih lanjut, Kiai Afif menjelaskan bahwa hewan kurban juga memiliki syarat khusus. Di antaranya tidak boleh cacat dan mengandung aib. Ia lantas menyebutkan sebuah hadits yang membeberkan keabsahan hewan kurban.
“Ada empat jenis hewan yang tidak cukup dijadikan hewan kurban, yaitu hewan yang buta sebelah, sakit, pincang, dan sangat kurus. Itu beberapa jenis aib yang sudah manshus dinyatakan langsung oleh Allah,” ungkap peraih gelar doktor honoris causa dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo, Semarang, itu.
Pada perumusan sebuah hukum, Kiai Afif menjelaskan bahwa yang dibahas adalah persoalan analogi atau qiyas, sedangkan dasar dari qiyas adalah ta’qilul ahkam atau hukum yang dapat dipahami oleh akal.
“Misalnya kenapa hewan-hewan sakit tidak bisa dijadikan hewan kurban? Kenapa yang pincang, buta sebelah, dan kurus itu tidak bisa? Kalau kita bisa memahami alasan-alasan itu maka kita akan bisa melakukan qiyas,” jelas Kiai Afif.
(Ful)