Majalahaula.id – Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan terbesar di dunia tidak hanya berperan dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan pendidikan. Struktur organisasi NU yang luas dan kompleks memungkinkan kolaborasi multi-aktor, melibatkan praktisi, akademisi, dan profesional dalam proses perencanaan partisipatif. Pendekatan perencanaan partisipatif menekankan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Teori Kolaborasi (Ansell & Gash, 2008), keberhasilan kerja sama lintas sektor bergantung pada kepercayaan, komunikasi yang baik, dan komitmen bersama terhadap tujuan yang ingin dicapai.
Kolaborasi multi-aktor menjadi penting dalam memastikan bahwa kebijakan yang diambil memiliki basis akademik yang kuat, pengalaman praktis yang memadai, serta dukungan profesional yang tepat. Kolaborasi ini pula menjadi kunci dalam menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi, sekaligus memastikan bahwa NU tetap relevan dalam konteks masyarakat yang terus berubah.
Peran multi-aktor dalam perencanaan partisipatif, yaitu : 1) Peran Praktisi. Praktisi dalam konteks NU adalah individu atau kelompok yang terlibat langsung dalam pelaksanaan program di lapangan, seperti pengurus pesantren, guru, dan aktivis sosial. Mereka memiliki pemahaman mendalam tentang kebutuhan masyarakat lokal dan tantangan yang dihadapi. Peran praktisi dalam perencanaan partisipatif adalah memberikan masukan berbasis pengalaman lapangan, memastikan bahwa program yang dirancang sesuai dengan realitas sosial dan budaya masyarakat. Praktisi juga berfungsi sebagai penghubung antara NU dan masyarakat, memastikan bahwa program yang dijalankan bersifat inklusif dan partisipatif. 2) Peran Akademisi. Akademisi berperan dalam memberikan landasan teoritis dan analisis kritis terhadap program-program yang dirancang oleh NU. Mereka membantu dalam mengidentifikasi isu-isu strategis, merumuskan kebijakan berbasis bukti, dan mengevaluasi dampak program. Kolaborasi dengan akademisi memastikan bahwa perencanaan partisipatif tidak hanya berbasis praktik, tetapi juga didukung oleh penelitian dan kajian ilmiah. Akademisi juga berperan dalam mengembangkan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan NU melalui pelatihan dan pendidikan. 3) Peran Profesional. Profesional, seperti manajer, konsultan, dan ahli teknis, membawa keahlian spesifik dalam manajemen, teknologi, dan strategi. Mereka membantu dalam merancang program yang efisien, efektif, dan berkelanjutan. Profesional juga berperan dalam memastikan bahwa program NU memenuhi standar kualitas dan akuntabilitas. Dengan keahlian mereka, profesional dapat membantu NU mengadopsi pendekatan modern dalam perencanaan dan pelaksanaan program.
Perencanaan partisipatif dalam organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) memerlukan kolaborasi antara praktisi, akademisi, dan profesional untuk menciptakan kebijakan, program, dan strategi yang lebih inklusif dan berbasis kebutuhan masyarakat. Namun, dalam implementasinya terdapat tantangan serta peluang yang harus dihadapi oleh masing-masing pihak.
Pertama, Tantangan Multi-Aktor dalam Perencanaan Partisipatif : 1) Perbedaan Perspektif dan Pendekatan. Praktisi sering kali lebih berorientasi pada pengalaman empiris di lapangan dan kebutuhan langsung masyarakat. Akademisi cenderung fokus pada pendekatan teoritis dan metodologis yang kadang dianggap kurang aplikatif. Profesional lebih menitikberatkan pada efisiensi, hasil, serta keberlanjutan dalam aspek teknis dan manajerial. Perbedaan ini dapat menghambat sinergi jika tidak ada mekanisme koordinasi yang baik. 2) Kurangnya Komunikasi dan Koordinasi. Tidak adanya forum reguler yang mempertemukan ketiga elemen ini dapat menyebabkan miskomunikasi dan kurangnya koordinasi dalam perencanaan program. 3) Hambatan Struktural dan Kultural. NU sebagai organisasi berbasis tradisi memiliki mekanisme tersendiri dalam pengambilan keputusan yang bisa jadi kurang fleksibel bagi akademisi dan profesional dalam menerapkan teori atau inovasi baru. 4) Sumber Daya Terbatas. Keterbatasan pendanaan dan sumber daya manusia yang kompeten dalam perencanaan partisipatif juga menjadi tantangan, terutama dalam skala yang lebih luas. 5) Resistensi terhadap Perubahan. Beberapa kelompok dalam NU mungkin lebih nyaman dengan metode tradisional, sehingga sulit menerima pendekatan berbasis akademik atau profesional yang lebih modern.
Kedua, Peluang Multi-Aktor dalam Perencanaan Partisipatif : 1) Sinergi Multi-Pihak untuk Program Berbasis Bukti. Kolaborasi antara praktisi, akademisi, dan profesional dapat menciptakan program berbasis riset yang lebih tepat sasaran dan memiliki dampak jangka panjang. 2) Pemanfaatan Teknologi dalam Perencanaan Partisipatif. Digitalisasi dan platform daring dapat menjadi alat untuk menjembatani kesenjangan komunikasi antara berbagai pihak serta meningkatkan keterlibatan masyarakat. 3) Peran Akademisi dalam Capacity Building. Akademisi dapat berkontribusi dalam pelatihan dan peningkatan kapasitas kader NU dalam perencanaan dan implementasi program berbasis ilmiah. 4) Adaptasi Model Hybrid (Tradisi & Inovasi Modern). Pendekatan partisipatif dapat dilakukan dengan tetap menghargai nilai-nilai tradisional NU, namun dikombinasikan dengan metode perencanaan yang lebih efisien. 5) Kesempatan Kemitraan dengan Lembaga Eksternal. Profesional di bidang manajemen proyek dan pembangunan dapat membantu NU dalam menjalin kerja sama dengan pemerintah, lembaga donor, maupun sektor swasta untuk mendukung program-program strategis.
Sinergi ini memastikan bahwa perencanaan partisipatif di NU bersifat holistik, inklusif, dan berkelanjutan. Akademisi dapat memberikan teori dan metode yang relevan, praktisi dapat memberikan wawasan lapangan, serta profesional dapat memberikan manajemen yang efektif. Selain itu, kolaborasi ini juga memperkuat jaringan dan kapasitas organisasi NU dalam menghadapi tantangan masa depan. Kolaborasi multi-aktor dalam struktur NU merupakan pendekatan yang efektif dalam perencanaan partisipatif. Dengan melibatkan praktisi, akademisi, dan profesional, NU dapat merancang program yang relevan, inklusif, dan berkelanjutan.
Kolaborasi ini tidak hanya memperkuat kapasitas internal NU, tetapi juga memastikan bahwa organisasi ini tetap menjadi kekuatan sosial dan keagamaan yang signifikan di Indonesia. Sehingga pengoptimalan peran masing-masing aktor, NU dapat lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan sosial, serta mampu merancang kebijakan yang lebih berbasis data dan kebutuhan riil masyarakat.
*) Penulis adalah Wakil Ketua I MWCNU Panji dan Sekretaris Pengurus Cabang Badan Perencanaan Nahdlatul Ulama (PC BAPENU) Kabupaten Situbondo