Majalahaula.id – Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam terbesar di dunia yang memiliki basis kuat di kalangan pesantren dan telah berkembang menjadi salah satu kekuatan utama dalam berbagai bidang, termasuk keagamaan, sosial, pendidikan, dan politik. NU dikenal memiliki tradisi dan nilai yang khas, seperti toleransi, moderasi, dan penguatan nilai-nilai lokal yang berbasis pada ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).
Dalam perkembangannya, NU tidak hanya diikuti oleh santri atau alumni pesantren, tetapi juga oleh masyarakat luas, termasuk kalangan non-pesantren. Transformasi identitas ke-NU-an bukanlah proses yang statis, terutama bagi alumni yang tidak berasal dari latar belakang pesantren. Namun, transformasi identitas Ke-NU-an bagi alumni non-pesantren menjadi isu menarik dalam memahami bagaimana seseorang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan pesantren dapat menjadi Kader Penggerak NU.
Identitas Ke-NU-an terbentuk melalui pemahaman terhadap tradisi, ajaran, dan nilai-nilai Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) yang menjadi dasar NU. Identitas ke-NU-an bukan hanya sekadar identitas keagamaan, tetapi juga mencakup aspek kultural, historis, dan sosial. Bagi kader yang tidak memiliki pengalaman langsung di pesantren, membangun identitas ke-NU-an memerlukan proses yang lebih intensif. Hal ini karena pesantren adalah salah satu institusi utama yang membentuk karakter dan tradisi NU.
Transformasi identitas ke-NU-an bagi alumni non-pesantren bukan tanpa tantangan. Tantangannya adalah kesenjangan pengetahuan dalam memahami : 1) Aswaja dan Tradisi NU. Tidak memiliki pengalaman langsung dalam kajian kitab kuning atau tradisi pesantren. 2) Kultur Ke-NU-an. Berbeda dengan santri yang sejak dini terbiasa dengan amaliyah NU seperti tahlil, manaqib, dan shalawat. 3) Struktur Organisasi. Pemahaman terhadap dinamika struktural NU yang kompleks, mulai dari tingkat Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama (PAR NU) hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Transformasi identitas Ke-NU-an bagi alumni non-pesantren terjadi melalui beberapa tahapan, yakni : 1) Kesadaran Ideologis. Menumbuhkan pemahaman tentang NU sebagai organisasi yang moderat dan inklusif, serta mengkaji sejarah dan kontribusi NU dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan. 2) Penguatan Pemahaman Keagamaan. Mengikuti kajian Aswaja yang diadakan oleh struktural NU seperti Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) atau Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU), serta mempelajari kitab-kitab dasar dalam Islam dengan bimbingan ulama NU. 3) Partisipasi dalam Kegiatan Ke-NU-an. Aktif dalam kegiatan keagamaan seperti Maulid Nabi, Haul, dan pengajian rutin, serta bergabung dalam Lembaga / Badan Khusus NU atau organisasi sayap NU seperti Ansor, IPNU-IPPNU, atau PMII bagi mahasiswa. 4) Kaderisasi dan Pelatihan. Mengikuti program kaderisasi NU seperti Pendidikan Dasar – Pendidikan Kader Penggerak NU (PD-PKPNU), serta memahami prinsip dasar perjuangan NU dan strategi dakwah berbasis moderasi beragama. 5) Integrasi dalam Gerakan Sosial dan Dakwah. Mengimplementasikan nilai-nilai NU dalam kehidupan sosial, baik di lingkungan kerja maupun masyarakat, serta berperan dalam dakwah digital dengan menyebarkan konten keislaman ala NU.
Transformasi identitas Ke-NU-an bagi alumni non-pesantren merupakan proses panjang yang melibatkan aspek pemahaman ideologi, penguatan keagamaan, keterlibatan aktif, dan kaderisasi. Dengan adanya proses ini, alumni non-pesantren dapat menjadi Kader Penggerak NU yang kompeten menyebarkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin sesuai dengan ajaran Aswaja an-Nahdliyah. Dengan dukungan yang tepat, alumni non-pesantren dapat memberikan perspektif baru yang segar dalam pengembangan NU, terutama dalam menjawab tantangan modern. Sehingga keberagaman latar belakang kader NU dapat menjadi kekuatan baru bagi NU dalam menghadapi tantangan zaman.
*) Penulis adalah Wakil Ketua I MWCNU Panji dan Sekretaris Pengurus Cabang Badan Perencanaan Nahdlatul Ulama (PC BAPENU) Kabupaten Situbondo