Majalahaula.id – Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla menyampaikan pandangannya mengenai peran umat Islam dalam perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurutnya, mayoritas umat Islam di Indonesia, terutama warga Nahdliyin, telah selesai dengan masalah demokrasi dan HAM secara konseptual.
Gus Ulil mengamati bahwa Indonesia saat ini berada pada point of no return dalam hal demokrasi. Sulit untuk membayangkan negara ini kembali ke sistem otoriter.
Ia menyimpulkan Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti demokrasi dan HAM. Sumbangan terbesar dalam mencapai titik ini berasal dari umat Islam, dan yang terbesar dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
“Sumbangan terbesar negara kita sampai pada titik seperti ini, yaitu point of no return dalam hal demokrasi dan HAM, itu datang dari umat Islam. Dan umat Islam di sini tentu saja yang paling besar adalah umat Islam Nahdlatul Ulama,” ujarnya dalam acara Sarasehan Ulama NU yang digelar di The Sultan Hotel & Residence Jakarta , Selasa (4/2/2025).
“Ini jarang dikemukakan, jarang di-highlight. Jadi sumbangan warga NU di dalam memantapkan demokrasi di Indonesia itu besar sekali. Besar sekali,” lanjut Gus Ulil.
Namun, ia juga mengkritik pandangan yang hanya menekankan pada demokrasi dan HAM sebagai satu-satunya kepentingan bangsa Indonesia. Menurutnya, kemaslahatan Indonesia itu banyak dan demokrasi serta HAM hanyalah salah satunya.
“Jadi tidak ada masalah sebetulnya dengan soal demokrasi dan HAM ini. Hanya saja, ini kritik saya terhadap teman-teman yang berbicara tentang demokrasi. Ini pandangan yang sudah sering saya kemukakan dalam beberapa komentar dan tulisan-tulisan saya akhir-akhir ini terutama di catatan politik saya,” kata Gus Ulil dikutip dari laman detik.com.
“Saya mengatakan bahwa demokrasi dan HAM itu bukan satu-satunya kepentingan orang Indonesia. Jadi kemaslahatan Indonesia itu banyak jumlahnya. Demokrasi dan HAM hanya salah satu saja,” jelasnya.
Buktinya sederhana, umat Islam itu semuanya tidak keberatan ada pemilu menurut Gus Ulil. Umat Islam baik yang kiri, yang kanan, yang tengah, setengah-tengah, setengah kiri, setengah kanan, itu semua mereka ikut pemilu.
“Mereka semua mendirikan partai politik dan tidak keberatan mengikuti kompetisi politik yang terbuka. Itu kan salah satu fondasi penting demokrasi, yaitu pemilihan secara terbuka. Umat Islam tidak keberatan,” jelasnya.