Majalahaula.id – Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam terbesar di dunia yang memiliki peran signifikan dalam membentuk kebijakan keagamaan, sosial, dan pendidikan di masyarakat. Dalam menjalankan berbagai program dan kebijakan, perencanaan yang matang menjadi suatu kebutuhan. Namun, dalam proses perencanaan dan implementasi kebijakan, sering kali muncul resistensi dari berbagai elemen di dalam organisasi.
Resistensi terhadap perencanaan dalam NU dapat muncul karena beberapa faktor, di antaranya : 1) Kuatnya Tradisi dan Budaya Organisasi. NU memiliki tradisi yang kuat dalam pengambilan keputusan berbasis musyawarah dan ijma’ ulama. Proses perencanaan formal yang terlalu teknokratis sering kali dianggap bertentangan dengan cara kerja tradisional NU yang lebih fleksibel dan berbasis konsensus. 2) Keberagaman Pemikiran dan Kepentingan. Sebagai organisasi yang menaungi berbagai kelompok dan afiliasi, NU memiliki spektrum pemikiran yang luas. Tidak jarang, perbedaan kepentingan antar-kelompok menyebabkan resistensi terhadap perencanaan yang dianggap menguntungkan salah satu pihak saja atau akan membawa ketidakpastian, baik dalam aspek struktural maupun operasional dikarenakan telah terbiasa dengan sistem yang ada. 3) Struktur yang Kompleks dan Desentralisasi. NU memiliki struktur yang tersebar dari pusat hingga tingkat anak ranting (kelompok/komunitas). Pola desentralisasi ini memungkinkan adanya variasi kebijakan di setiap wilayah, sehingga rencana yang disusun di tingkat pusat sering kali sulit diimplementasikan di tingkat daerah. 4) Kurangnya Sumber Daya dan Kapasitas Manajerial. Dalam beberapa kasus, resistensi terhadap perencanaan muncul karena keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki keahlian di bidang perencanaan dan manajemen. Selain itu, keterbatasan dana juga sering menjadi penghambat utama dalam merealisasikan perencanaan yang telah dibuat. 5) Ketidakseimbangan antara Spiritualitas dan Pendekatan Manajerial. Sebagai organisasi berbasis keagamaan, NU lebih menekankan aspek spiritual dan sosial dalam berbagai kegiatannya. Pendekatan yang terlalu administratif dan manajerial dalam perencanaan terkadang dianggap mengurangi nilai-nilai tradisional dan keberkahan dalam perjuangan organisasi.
Agar resistensi dalam perencanaan dapat diminimalkan, kepemimpinan di NU harus memiliki strategi yang adaptif dan inklusif. Beberapa pendekatan yang dapat diterapkan antara lain : 1) Dialog dan Musyawarah Terbuka. Menciptakan ruang diskusi yang terbuka dan inklusif dengan melibatkan berbagai elemen dalam NU, termasuk ulama, akademisi, aktivis, dan masyarakat umum untuk mencari solusi yang disepakati bersama. 2) Pendekatan Kultural dan Kontekstual. Memahami dinamika sosial, budaya, dan keagamaan di berbagai daerah agar strategi perencanaan dapat diterima dan diterapkan secara efektif di tingkat lokal. 3) Kepemimpinan Kolaboratif. Mendorong model kepemimpinan yang partisipatif dengan melibatkan berbagai elemen dalam NU sehingga keputusan yang diambil lebih representatif dan diterima oleh banyak pihak. 4) Peningkatan Kapasitas Kader. Memberikan pelatihan dan pendidikan kepada kader-kader NU agar lebih adaptif terhadap perubahan serta mampu mengomunikasikan kebijakan dengan baik. 5) Pendekatan Bertahap (Incremental Approach). Menghindari perubahan yang terlalu drastis dan memilih pendekatan bertahap agar anggota dapat menyesuaikan diri dengan kebijakan baru tanpa menimbulkan resistensi besar. 6) Penguatan Komunikasi dan Sosialisasi. Memanfaatkan berbagai platform komunikasi, termasuk media sosial dan pertemuan langsung, untuk menyebarkan informasi mengenai kebijakan dan visi organisasi secara transparan. 7) Merangkul Kelompok yang Berbeda Pandangan. Mengajak pihak-pihak yang berpotensi menentang kebijakan untuk berdialog dan mencari titik temu, sehingga mereka merasa menjadi bagian dari proses perencanaan.
Untuk mengatasi resistensi perencanaan dalam Nahdlatul Ulama (NU), diperlukan kebijakan strategis yang dapat membangun kesadaran, partisipasi, dan keterlibatan aktif dari seluruh elemen organisasi. Beberapa kebijakan yang dapat diterapkan antara lain : 1) Peningkatan Kesadaran dan Edukasi. Mensosialisasikan pentingnya perencanaan strategis melalui forum diskusi, pelatihan, dan seminar; serta mengedukasi kader dan pengurus tentang manfaat jangka panjang dari perencanaan yang sistematis. 2) Pendekatan Partisipatif. Melibatkan seluruh elemen NU dalam penyusunan perencanaan agar tercipta rasa memiliki dan tanggung jawab Bersama; serta membuka ruang dialog untuk mendengar aspirasi dari berbagai pihak, termasuk ulama, akademisi, dan masyarakat NU. 3) Kepemimpinan yang Kuat dan Visioner. Mendorong pemimpin NU di berbagai tingkatan untuk menjadi teladan dalam implementasi perencanaan strategis; serta menanamkan budaya perencanaan dalam setiap pengambilan keputusan organisasi. 4) Penyelarasan dengan Nilai dan Tradisi NU. Menyesuaikan strategi perencanaan dengan nilai-nilai Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) dan tradisi NU agar lebih mudah diterima oleh warga NU; serta memanfaatkan struktur organisasi NU yang sudah mapan untuk mendukung implementasi rencana. 5) Pemberdayaan Kader dan SDM. Meningkatkan kapasitas kader melalui pelatihan kepemimpinan, manajemen, dan perencanaan strategis; serta membangun sistem kaderisasi yang berkelanjutan untuk memastikan kesinambungan pelaksanaan perencanaan. 6) Evaluasi dan Monitoring Berkala. Menyusun mekanisme evaluasi yang jelas untuk menilai efektivitas perencanaan yang telah diterapkan; serta memberikan umpan balik secara berkala guna meningkatkan kualitas perencanaan di masa mendatang. 7) Pemanfaatan Teknologi dan Media. Menggunakan teknologi digital untuk mempermudah koordinasi dan komunikasi dalam implementasi perencanaan; serta memanfaatkan media sosial dan platform digital untuk menyebarluaskan informasi terkait rencana strategis NU.
Resistensi dalam perencanaan merupakan tantangan yang tidak dapat dihindari dalam organisasi sebesar NU. Namun, melalui kepemimpinan yang inklusif dan kebijakan yang adaptif, tantangan ini dapat diatasi secara efektif. Dengan demikian, NU dapat terus berkembang sebagai organisasi yang mampu menyesuaikan diri dengan dinamika sosial dan politik tanpa kehilangan identitas, serta nilai-nilai tradisionalnya.
*) Penulis adalah Wakil Ketua I MWCNU Panji dan Sekretaris Pengurus Cabang Badan Perencanaan Nahdlatul Ulama (PC BAPENU) Kabupaten Situbondo