Majalahaula.id – KELUARGA PANCASILA PRABOWO, Pelaksanaan Perayaan Natal Nasional dihadiri oleh Presiden Prabowo Subianto pada Sabtu, 28 Desember 2024, di Kompleks Gelora Bung Karno (GBK). Perwakilan NU dan Muhammadiyah juga nampak hadir bersamaan dengan pimpinan MPR, DPR, DPD dan anggota Kabinet Merah Putih.
Ketua Pelaksana Natal bersama, Thomas Djiwandono, wakil Menteri Keuangan yang notabene ponakan Prabowo, menyebutkan bahwa tak kurang dari 12 ribu jemaat yang hadir. Tak lupa pimpinan KWI dan PGI serta tokoh lintas agama juga hadir menambah kesemarakan perayaan hari besar umat Kristiani ini.
Dengan tema “Marilah Sekarang Kita Pergi Ke Betlehem”, perayaan Natal Nasional 2024 mengirim pesan damai ke seluruh pelosok dunia. Lihatlah Indonesia, negara muslim terbesar dunia yang bisa hidup guyub dan rukun antar umat beragama. Perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk bersama dan bekerjasama dalam membangun bangsa.
Prabowo menyatakan bahwa Natal adalah momentum untuk berkumpul dengan keluarga. Banyak anggota keluarganya yang Kristiani. Bahkan, sang presiden sendiri mengakui ia lahir dari seorang ibu beragama Kristen.
Soemitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, seorang muslim, dan Dora Marie Sigar, ibunya penganut Kristen Protestan. Ayah ibunya merupakan pasangan beda agama yang harmonis, menjunjung tinggi pluralisme dan toleransi.
Prabowo bersaksi tak pernah melihat kedua orang tuanya bertengkar perihal urusan agama. Walau kadang berselisih, ia melihat perkaranya bukan soal keyakinan. Setiap anggota keluarga diberi kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah berdasarkan pada keyakinan masing-masing.
Prabowo mengatakan bahwa keluarganya beragam yang berhasil mendidik putranya menjadi Presiden Republik Indonesia ke-8. Sebuah keluarga Pancasila yang Bhineka Tunggal Ika. Keluarga yang beda agama dan suku, tapi punya satu tujuan yang sama.
“Yaitu keinginan, kemauan untuk hidup rukun, untuk hidup sebagai suatu keluarga besar, untuk mencapai cita-cita dan tujuan bersama yaitu mencari kehidupan yang baik di dunia ini dan bekerja keras untuk menghadapi dunia yang akan datang”.
Jadi, bagi Prabowo pribadi dan keluarganya, fikih lintas agama merupakan hal yang lumrah dan lazim. Sebab, suasana seperti itu sudah ia jalani puluhan tahun. Mereka sudah terbiasa Idul Fitri dan Natal bersama secara kultural. Tanpa mencampuraduk urusan ritual agama masing-masing. Mereka tahu batas mana yang boleh dan tidak dalam ajaran agama Islam dan Kristen.
Sebagaimana menyikapi nikah beda agama, dialog lintas iman yang merupakan rutinitas harian keluarga Pancasila Prabowo. Semua pasti sepakat, menjadi muslim sejati bukan hambatan untuk menghormati pemeluk agama Nasrani. Dan, menjadi Kristen yang taat bukan rintangan menghormati pemeluk agama Islam.
Jujur harus diakui, bahwa keluarga nikah beda agama bukan hanya keluarga besar Prabowo, banyak keluarga Indonesia pun sama. Menurut, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), jumlah pasangan yang menikah beda agama di Indonesia sejak 2005 hingga 2022 adalah 1.425 pasangan.
Memang, jumlah keluarga nikah beda agama ini tak terlalu besar. Apalagi dibandingkan dengan jumlah keluarga Indonesia sebanyak 72 juta pasangan. Namun, keluarga semacam ini menonjol lantaran nikah beda agama masih termasuk persoalan kontrovesial di mata agama dan hukum perkawinan. Ditambah bila pasangannya berasal dari keluarga pesohor di Tanah Air.
Keluarga Soemitro-Dora, bapak Ibu Prabowo, sudah terjalin ikatan pernikahan sebelum UU No 1 Tahun 1974 diberlakukan. Seperti yang dijelaskan dalam buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, Soemitro-Dora menikah pada 7 Januari 1946 di Jerman. Keluarga ini keluarga sukses di dunia pendidikan, ekonomi dan politik yang menjadi panutan keluarga Indonesia.
Oleh karena itu, keluarga Pancasila adalah keluarga yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama Pancasila mengajari seluruh umat beragama di Indonesia untuk membangun trikerukunan umat beragama: Pertama, membangun kerukunan internal umat agama. Kedua, membangun kerukunan antar umat beragama. Dan ketiga, membangun kerukunan umat beragama dan pemerintah.
Para pendiri Republik Indonesia berhasil merumuskan hubungan agama dan negara secara ideal. Indonesia bukan negara agama yang teokratis bukan pula negara sekuler yang memisahkan agama dan negara, bukan pula negara sosialis yang antiagama.
Tetapi, Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dimana pemerintah punya tanggungjawab untuk meningkatkan iman dan takwa, pembangunan sarana dan prasarana ibadah, serta mewujudkan kerukunan umat beragama.
Disinilah, letak keunggulan Indonesia dibandingkan dengan negara Rusia dan Suriah dalam mengelola pluralisme agama sebagai modal perdamaian bangsa. Sehingga, Prabowo dalam menghadapi Natal dan Tahun Baru, mengirim pesan perdamaian bagi dunia.
Bukan malah seperti Vladimir Putin dan Abu Muhammad Al-Julaini memprovokasi munculnya tindak kerusakan dan keonaran di muka bumi seperti perang Rusia-Ukraina dan transisi politik militer di Suriah.
PESAN DAMAI NATAL BAGI RUSIA DAN SURIAH
Natal adalah hari raya umat Nasrani yang terbesar di dunia. Peringatan ini membawa pesan damai bagi seluruh umat manusia. Ini mengingat misi kelahiran Nabi Isa AS sebagai juru selamat. Namun, bagi Rusia dan Suriah, duo negeri sosialis yang dilanda perang, malah memaknai natal dengan menghadirkan serangan bom dan perusakan pohon natal.
Rusia adalah negara yang terlibat konflik bersenjata dengan Ukraina. Perang ini sudah berlangsung 2 tahun 10 bulan sejak 24 Februari 2022 sampai sekarang. Menurut NATO jumlah korban kurang lebih 600 ribu orang korban meninggal dan luka-luka. Studi Institute Perekonomian Global dari Universitas Tubingen Jerman, mentaksasi kerugian ekonomi akibat perang sebesar 12 miliar dolar atau setara 1,94 kuadriliun rupiah.
Perang Rusia-Ukraina belum ada tanda-tanda akan berakhir. Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodiemyr Zelenskyy adalah pemimpin yang sama-sama keras kepala. Keduanya terjangkit penyakit agresivitas yang tak ada jera menyebarkan maut pada sesama. Betapun dua pemimpin ini secara pribadi dibesarkan dalam tradisi damai dari ajaran Kristen Ortodoks dan keluarga Yahudi.
Rusia-Ukraina merupakan dua negara yang berada di benua Eropa. Sebuah benua yang memiliki sejarah konflik bersenjata cukup panjang. Dan menjadi sumber pemicu perang dunia I dan II. Perang ini telah menelan korban begitu sangat besar lantaran perang ideologi dan perang persenjataan.
Jadi, perang Rusia-Ukraina telah menimbulkan kebangkrutan moral sekaligus kebangkrutan kemanusiaan. Dimana etika pergaulan dunia sudah tak berlaku, dan nyawa manusia begitu murah demi dan atas nama ancaman keamanan dan keutuhan bangsa yang bertetangga.
Sementara Suriah adalah negara sosialis Arab yang dikuasai oleh Partai Ba’ats. Negeri ini menganut one party system di bawah partai yang didirikan oleh Micheal Aflaq. Dengan sistem satu partai, maka kebebasan berserikat dan berpendapat tak berlaku. Maka kelompok oposisi selalu berhadapan dengan moncong senjata.
Otomatis perang saudara tak bisa dihindari. Perang Suriah sejak 2011-2024 saja telah menelan korban nyaris 600 ribu. Suriah dikendalikan oleh kelompok Syiah Alawi yang minoritas. Sedangkan, kelompok Islam Sunni sebagai umat mayoritas justru dalam kekuasaan rezim militer yang diktator dan tirani.
Negara bekas kerajaan Bani Umayah ini tak kurang dari setengah abad dikuasai oleh dinasti Assad sejak 1971-2024. Dan Presiden Bashar Al-Assad merupakan putra dari Hafid Al-Assad, yang digulingkan oleh milisi bersenjata pada 8 Desember 2024.
Hayat Tahrir Syam (HTS) pimpinan Abu Muhammad Al-Julaini yang telah mengakhiri dominasi kekuasaan dinasti Assad. Julaini sendiri mantan komandan Al-Qaidah yang dicap oleh Amerika Serikat sebagai jaringan organisasi terorisme dunia.
Jadi, perusakan pohon natal di Damaskus sewaktu demo massa telah membuka tabir politik aliran sangat lekat dengan relasi kultural antar anak bangsa Suriah. Konflik sektarian inilah yang menjadi mesin pembunuh kemanusiaan dan perdamaian.
Dua kejadian besar di atas sengaja didesain untuk membawa pesan perang yang penuh kebencian dan permusuhan. Mereka dengan terbuka mengatakan bahwa serangan bom ke Ukraina ialah hadiah natal.
Begitu pula dengan aksi perusakan pohon natal di Ibu Kota Damaskus, juga dianggap sebagai hadiah natal. Padahal, Ibu kota Suriah merupakan wilayah kosmopolitan yang multi agama dan menjadi pusat pertumbuhan dan perkembangan Kristen Ortodok Suriah yang mendominasi Timur Tengah sejak berabad-abad lamanya.
MEMBUMIKAN PESAN DAMAI NATAL
Tiga negara yang disebut di atas mencerminkan 3 jenis negara. Pertama, Indonesia mewakili negara berkembang. Kedua, Rusia mewakili negara maju. Ketiga, Suriah mewakili negara gagal. Ternyata, tiga negara ini memiliki perilaku damai paradoksal. Perayaan Natal yang semestinya memberikan pesan perdamaian, tidak selalu dibumikan dengan benar, namun bergantung pada filosofi dan kepentingan nasional.
Indonesia di era kepemimpinan Prabowo telah selesai meletakkan nilai-nilai perdamaian dalam hubungan dengan umat beragama. Sehingga, negeri ini cukup representatif menjadi corong suara damai dunia.
Rusia di era kepemimpinan Putin gagal mencegah invasi politik militer ke Ukraina. Sehingga, dengan alasan mengancam keamanan dan ketertiban sosial menghalalkan aksi pencaplokan sebagian wilayah Ukraina. Serangan bom justru diluncurkan pada saat warga Ukraina sedang merayakan Natal.
Suriah dibawah kepemimpinan Al-Julaini sedang melakukan konsolidasi politik dan keamanan di tengah-tengah transisi kekuasaan dari rezim Alawi pada rezim Tahriri. Sehingga, prmerintah baru acuh tak acuh terhadap aksi vandalisme agama yang merusak citra Islam damai dalam hubungan dengan umat Kristiani.
Ketiga pemimpin di atas, sebenarnya sesama berasal dari rahim militer. Yang berbeda visi ketiganya dalam membangun kekuasaan. Prabowo lahir dari tradisi demokrasi yang multipartai. Putin lahir dari tradisi sosolis-komunis yang menggunakan sistem partai tunggal. Dan, Al-Julaini lahir dari tradisi milisi-militer yang meraih kekuasaan dengan cara kudeta.
Ala kulli hal, Indonesia boleh berbangga dengan capaian politik dan keamanan hingga dapat melaksanakan Natal dengan aman, damai dan lancar. Di lain pihak, Rusia dan Suriah masih butuh kesadaran untuk mewujudkan perdamaian dalam negeri dengan menghindari kebijakan represif.
Sebab, tak ada perdamaian tanpa adanya perdamaian umat beragama. Perdamaian umat beragama merupakan modal dalam menciptakan perdamaian yang abadi dan berkeadilan sosial.
Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute