Majalahaula.id – Beberapa hari ini kita disajikan berita Haul Gus Dur Ke-15. Peringatan kematian sang mahaputra pesantren kelahiran 7 September 1940 dipusatkan di Pondok Pesantren Ciganjur Jakarta dan Tebuirang Jombang.
Seperti disampaikan oleh Menteri Agama Prof Dr KH Nazaruddin Umar MA, Gus Dur sejatinya tetap hidup di sisi Allah, kendati rohnya telah lepas dari badannya yang telah dikebumikan di Tanah Suci Tebuireng pada 30 Desember 2009.
Alumni Universitas Al-Azhar dan Baghdad Timur Tengah ini tetap memberi pembelajaran pada umat. Pembelajaran itu berupa kesaksian hidup para tokoh terhadap profil, pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Termasuk dua kesaksian pokok Imam besar Masjid Istiqlal Jakarta berikut ini:
Pertama, Kiai Nazaruddin bercerita dua kali mendampingi Ketua Umum PBNU (1984-1999) mencari makam Syeikh Jamaluddin di Tosora Sulawesi Selatan. Gus Dur meyakini bahwa Syeikh Jamaluddin adalah guru sejati Walisongo yang memiliki jasa besar dalam menyebarkan Islam di Nusantara.
Kiai Nazaruddin sempat bertanya kepada Presiden Indonesia Ke-4 ini. Siapa yang memberitahu keberadaan makam tersebut. Gus Dur tak menjawab. Guru, dalam pandangan guru besar Tafsir UIN Syarif Hidatullah Jakarta ini, bukan hanya orang yang hidup. Orang yang mati pun bisa menjadi guru irfani.
Gus Dur adalah seorang waliyullah yang mengembangkan pengetahuan irfani dengan senantiasa mempertajam nurani dan membela yang lemah. Berkat kemampuan ini, banyak prediksi Gus Dur jadi kenyataan. Dalam istilah sufisme Jawa, Ketua Dewan Syura PKB ini punya kemampuan weruh sakdurunge winarah.
Dalam riwayat yang mutawatir, Gus Dur adalah seorang yang punya kemampuan meneropong masa depan. Suami Nyai Sinta Nuriyah ini bak seorang futurulog atau cenayang yang bisa membaca berbagai kejadian besar di masa depan.
Kedua, Kiai Nazaruddin mengaku bahwa keberhasilan transformasi IAIN menjadi UIN di berbagai kota di Indonesia tak lepas dari tanda tangan Gus Dur sebagai orang nomor wahid di Republik ini. Waktu itu, Kiai Nazaruddin menjadi direktur eksekutif perubahan status IAIN Syarif Hidayatullah menjadi UIN Jakarta.
Mantan Pembantu Rektor IV ini yang telah meyakinkan dan meminta tanda tangan Gus Dur secara langsung. Berkat coretan pulpennya, IAIN Syarif Hidayatullah berubah menjadi UIN Jakarta pada 2001. Kemudian disusul oleh IAIN Sunan Kalijaga juga berubah menjadi UIN Yogyakarta pada 2002.
Semula Gus Dur kurang begitu sepakat usulan Kiai Nazaruddin. Seperti halnya juga Cak Nur, panggilan akrab Prof Dr Nurcholish Madjid MA, juga sama kurang sependapat. Namun, setelah dijelaskan dengan tamsil, kedua tokoh ini akhirnya taslim sebagai wujud ikhtiar perkawinan pengetahuan agama dan umum.
“Saya menjawab. Islam itu Universal. Ketika Sekoah Tinggi itu seperti empang, ketika Institut seperti danau, kalau Universitas itu seperti Samudra. Karena Islam itu Universal. Maka Universitas itu lah yang mewadahi Universal Islam”, kata Kiai Nazaruddin menjawab keraguan dua intelektual muslim tersohor asal Jombang ini.
Kesaksian Kiai Nazaruddin di atas adalah sebagian kecil dari banyak kesaksian dari para tokoh yang dekat dengan Gus Dur. Seperti KH Mustafa Bisri, Prof Dr KH Said Aqiel Siradj MA, Prof Dr Alwi Shihab MA, Prof Dr Mahfud MD SU, Prof Dr AS Hikam MA, Dr (HC) Khofifah Indar Parawansa, Dr Abd Muhaimin Iskandar MSi, Drs H Saifullah Yusuf, Dr (HC) KH Yahya Cholil Staquf dan lainnya sebagainya.
Mereka adalah para tokoh yang berada di dalam inner circle kehidupan Gus Dur, layaknya para sahabat besar Nabi Muhammad SAW. Mereka yang meriwayatkan qaulan (perkataan), fi’lan (perbuatan) dan taqriran (penetapan) dari Gus Dur sedari hidup sampai akhir hayat.
Sebatas yang saya ketahui, dari para sahabat karib Gus Dur di atas hanya Prof Mahfud, Cak Imin, Prof Hikam dan Gus Yahya yang menulis buku kenangan secara utuh. Selebihnya merupakan kesaksian yang masyhur secara lisan bak syuhrah wastifadhah dalam ilmu nasab.
Semula Prof Mahfud menulis buku, dengan judul Setahun Bersama Gus Dur, Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit (UII Press, 2003).
Kemudian Cak Imin menulis buku, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur (LKiS Pelangi Aksara, 2010)
Berikutnya Prof Hikam menulis buku, Gus Dur ku, Gus Dur anda, Gus Dur kita: Kenangan, Wawancara Imajiner & Guyon Gusdurian (Yrama Widya, 2013).
Dan selanjutnya, Gus Yahya menulis buku, Catatan Kenangan Yahya Cholil Staquf, Menghidupkan Gus Dur (LB Books, 2021).
Dari 55 buku tentang Gus Dur yang dipublikasikan berbentuk buku, saya mendapatkan 4 judul buku di atas yang ditulis oleh para sahabat karib Gus Gur. Hal ini berarti hanya 7,2 persen saja. Sedangkan, 92,8 persen ditulis oleh intelektual dalam dan luar negeri yang kesemsem dengan kisah inspiratif Gur Dur.
Jadi, Gus Dur telah menjadi sumber studi tokoh seperti sumber mata air yang tak pernah habis. Apalagi, haul Gus Dur diperingati setiap tahun, otomatis menjadi sekolah kehidupan yang menginspirasi banyak pihak dalam memperjuangkan kepentingan agama, bangsa dan negara.
Memang, usia Gus Dur cuma 59 tahun, tapi ia adalah presiden yang bakal terus menjadi guru bangsa sepanjang sejarah Republik ini, meski ia telah tiada.
Kesaksian lisan maupun tulisan tentang Gus Dur merupakan materi pelajaran tentang NU, Islam, Indonesia, pesantren, demokrasi, pluralisme, Hak asasi Manusia, perlindungan terhadap minoritas dan lain sebagainya.
Moch Eksan adalah Eksan Institute