Search

Kontekstualisasi Resolusi Jihad di Era Kekinian
Oleh: Hermansyah Kahir, Alumnus Pesantren Raudlatul Ulum Kapedi, Sumenep

Majalahaula.id – “Resolusi Jihad adalah jihad perang satu-satunya dalam sejarah Indonesia. Resolusi Jihad adalah politisasi agama pertama di Indonesia.”

–K.H. Sholahuddin Wahid

Sejak ditetapkannya Hari Santri Nasional oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015, hari santri menjadi salah satu hari besar nasional yang selalu dinanti oleh masyarakat terutama kalangan pesantren di seluruh Indonesia. Melalui Kementerian Agama (Kemenag) peringatan Hari Santri Nasional 2024 mengusung tema “Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan”. Tema ini menggambarkan semangat juang dan kontribusi kaum santri perlu terus digelorakan dalam rangka membangun dan memajukan Indonesia.

Peringatan hari santri menjadi momentum penting bagi kita untuk menengok kembali sejarah perjuangan para ulama dan kaum santri dalam mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah sekaligus berharap para santri mampu melanjutkan perjuangan ini untuk terus berkontribusi bagi memajukan bangsa.

Penetapan hari santri merupakan bentuk pengakuan negara terhadap peran para ulama dalam mempertahankan Indonesia dari keinginan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia setelah Jepang mengalami kekalahan. Menyikapi keinginan Belanda tersebut, pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy’ari dan para kiai se-Jawa Madura bersepakat untuk mengeluarkan Resolusi Jihad yang berisi seruan bagi umat Islam untuk membela Tanah Air dan melawan segala bentuk penjajahan. Dengan Resolusi Jihad, para santri yang tergabung dalam Laskar Hisbullah dan Fisabilillah dengan penuh keberanian melawan tentara Belanda.

Baca Juga:  Cinta Keluarga Modal Dasar Ketahanan Keluarga

Peran ulama dan kaum santri tidak dapat diragukan lagi dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kontribusi mereka sangat nyata untuk mewujudkan kemaslahatan bangsa dan negara ini. Sehingga sangat pantas bila para ulama sekaliber KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH A. Wahid Hasyim, KH Zainul Arifin, KH Asad Syamsul Arifin, KH Idham Cholid, KH Syam’un, KH Zainal Mustafa, dan KH Masjkur dianugerahi gelar pahlawan nasional.

Jihad Kekinian

Resolusi Jihad menjadi bukti konkret bagaimana kalangan pesantren dengan keberaniannya menghadapi serangan musuh sehingga kita dapat merasakan nikmatnya kebebasan dan kemerdekaan. Semangat Resolusi Jihad tidak boleh padam dan perlu dikontekstualisasikan dalam menghadapi tantangan bangsa saat ini. Karena itu, penting bagi kaum santri untuk terus menggelorakan Resolusi Jihad di tengah persoalan bangsa yang semakin kompleks.

Salah satu persoalan krusial yang dihadapi bangsa Indonesia beberapa tahun bekalangan ini adalah kemerosotan integritas pemimpin. Sudah semestinya seorang pemimpin menjunjung tinggi nilai-nilai integritas agar ia mampu menunaikan amanhnya dengan baik. Sayangnya, pemimpin berintegritas sudah mulai langka di negeri ini. Yang ada justru sebaliknya—pemimpin yang gemar pencitraan, munafik, dan berani menabrak aturan demi melanggengkan kekuasaannya. Krisis integritas ini bukan sekadar terjadi di level eksekutif melainkan juga di tingkat legislatif dan yudikatif. Indonesia saat ini mengalami defisit pemimpin yang memegang teguh prinsip-prinsip moral dan etika.

Baca Juga:  Nidhomiyah Organisasi yang Berkelas Menurut McKinsey and Company.

Persoalan lain yang juga berbahaya bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah kejahatan korupsi. Di negeri ini korupsi sudah menjadi model kehidupan bagi sebagian pihak dan telah menyebar ke semua bidang kehidupan, baik bisnis, politik maupun pemerintahan. Era reformasi yang memosisikan persoalan korupsi sebagai isu sentral yang perlu diberantas ternyata masih sangat jauh dari harapan. Pelaksanaan demokrasi di masa transisi seakan menyuburkan korupsi dan menyebar dari pusat hingga daerah.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI) menyebutkan ada sebanyak 167 kepala daerah di Indonesia yang terjerat kasus korupsi sepanjang 2004-2024. Selain itu, KPK juga telah menangani sebanyak 618 kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan kabupaten dan kota. Data ini menjadi bukti nyata bahwa Indonesia berada dalam situasi darurat korupsi.

Kejahatan korupsi tidak boleh dibiarkan terus berkembang karena akan berdampak buruk terhadap politik dan demokrasi di Indonesia. Dalam konteks ini, Nasaruddin Umar (2019) menegaskan, perilaku koruptif telah banyak melahirkan kerusakan, baik itu terhadap alam maupun relasi sosial masyarakat dan kebangsaan.

Baca Juga:  Ahl-Kitab dalam Islam (4): Keakraban antara Islam dan Kristen

Korupsi dan krisis integritas merupakan persoalan bangsa yang saling berkaitan dan keduanya memiliki daya rusak yang luar biasa. Karenanya, untuk merespons pelbagai persoalan tersebut kaum santri perlu turun tangan. Dengan keunggulan akhlak dan keluasan ilmunya, mereka diharapkan berada di garda terdepan dalam memperbaiki kondisi bangsa. Inilah jihad yang perlu dilakukan kaum santri di era kekinian.

Selain penguasaan ilmu agama (tafaqquh fiddin), dalam diri santri juga ditanamkan nilai-nilai etika dan moral. Para santri diajarkan pentingnya menjunjung tinggi integritas, kejujuran, dan tanggung jawab. Ini merupakan bekal penting bagi santri ketika terjun di tengah-tengah masyarakat. Apa pun profesinya—guru, penceramah, pebisnis, hakim, dan pejabat, maka seorang santri akan memegang teguh nilai-nilai kejujuran dan tidak menghalalkan segala cara demi mendapatkan kekuasaan.

Peringatan Hari Santri Nasional merupakan momentum bagi kaum santri untuk terus menggelorakan semangat Resolusi Jihad dan menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa untuk mendapatkan kekuasaan harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan penuh perjuangan, bukan dengan cara instan apalagi mengubah undang-undang demi melanggengkan dinasti politik.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA