Search

Kenangan Abadi Bersama Kiai Masyhudan: Guru Bahasa Arab yang Penuh Ketulusan dan Keceriaan
Oleh: Mochammad Fuad Nadjib, Santri Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif

Majalahaula.id – Pada hari Selasa, 12 November 2024, bertepatan dengan 10 Jumadil Awal 1446 Hijriah, kabar duka menyelimuti kami semua. Kiai Masyhudan, guru Bahasa Arab yang begitu dicintai di MTsN Denanyar, yang kini dikenal sebagai MTsN 4 Jombang, telah berpulang. Beliau bukan sekadar pengajar, tetapi sosok guru yang berdedikasi tinggi, penuh keikhlasan, dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan murid-muridnya. Dengan ketegasan yang hangat, Kiai Masyhudan selalu berhasil menciptakan suasana belajar yang penuh tawa, membuat pelajaran bahasa Arab terasa dekat dan hidup.

Mengenang Kiai Masyhudan, saya teringat bagaimana beliau mengajarkan bahasa Arab dengan pendekatan yang unik. Metode pembelajaran yang beliau gunakan selalu kreatif dan penuh kehangatan, sering kali melibatkan murid-murid dalam kegiatan menarik di laboratorium bahasa. Salah satu kenangan yang paling membekas adalah saat beliau mengajarkan kami sebuah lagu sederhana untuk memperkenalkan percakapan sehari-hari dalam bahasa Arab. Lagu ini membantu kami mengenal kata-kata dasar dan menumbuhkan keberanian dalam berbicara bahasa Arab. Bait-bait lagu itu masih terpatri di ingatan kami:

Baca Juga:  ISNU dan CIC: Mau Apa?

أهلا وسهلا # أهلا بك
كيف حالك # أنا بخير شكرا
ما وظيفتك # أنا تلميذ
هل أنت مسلم # نعم أنا مسلم

Setiap kali menyanyikannya, kami merasa antusias dan penuh semangat. Lagu ini dinyanyikan bersama di laboratorium, kemudian kami kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran. Saya masih ingat dengan jelas, saat itu saya duduk di kelas 3C, yang sekarang disebut kelas 9C. Kiai Masyhudan meminta siapa pun yang sudah hafal lirik lagu untuk maju ke depan kelas. Karena hafal, saya menjadi murid pertama yang maju dan menyanyikan lagu tersebut dengan penuh percaya diri.

Setelah selesai menyanyikan lagu itu, beliau tiba-tiba bertanya, “Berapa nomor absenmu?” Saya, yang saat itu belum terlalu mahir berbahasa Arab, spontan menjawab, “Dua puluh lima” dalam bahasa Indonesia. Beliau lalu tersenyum dan, dengan nada penuh ketegasan, meminta saya menyebutkan nomor absen tersebut dalam bahasa Arab. Saat itu, saya benar-benar bingung bagaimana menyebutkan angka “dua puluh lima” dalam bahasa Arab. Dengan gugup, saya mencoba mencari kode atau bantuan dari teman-teman di kelas, namun tak satu pun dari mereka memberi petunjuk.

Baca Juga:  Soal Demokrasi, Begini Kata Gus Dur

Dalam keputusasaan dan sedikit cemas, saya mengucapkan “Tsalaweh,” plesetan dari bahasa Jawa “Selawe,” yang berarti dua puluh lima. Seketika itu, seluruh kelas tertawa, dan Kiai Masyhudan tersenyum sambil menggelengkan kepala. Sebagai hukuman ringan, beliau memukul saya dengan lembut menggunakan buku absensi dan meminta saya berdiri selama pelajaran berlangsung. Tidak ada kemarahan atau kekesalan darinya; beliau hanya ingin mengajarkan kami kedisiplinan dan ketelitian dalam belajar.

Kiai Masyhudan tidak hanya mendidik kami dalam aspek akademis, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang mendalam. Beliau membentuk karakter kami dengan ketulusan, kesabaran, dan ketegasan yang luar biasa. Kepergian beliau meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi kami semua. Sosok beliau adalah teladan yang akan selalu kami kenang. Melalui pelajaran bahasa Arab yang beliau ajarkan, kami tidak hanya mendapatkan ilmu, tetapi juga memetik banyak pelajaran tentang keikhlasan dan kedisiplinan dalam menuntut ilmu.

Baca Juga:  Meraih Keistimewaan Malam Nisfu Sya’ban di Malam Ini

Kini, Kiai Masyhudan telah meninggalkan kita semua. Meski demikian, warisan ilmunya akan terus hidup dalam diri kami, murid-murid yang pernah dididiknya. Beliau telah menanamkan nilai-nilai yang akan terus kami pegang teguh. Selamat jalan, Kiai Masyhudan, semoga Allah memberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Doa kami selalu menyertai kepergianmu. Jasa dan pengabdianmu akan selalu menjadi kenangan indah yang takkan terlupakan.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA