Search

Program Gas Murah Dinilai ‘Jadi Beban’ Pemerintah di Tengah Konflik Geopolitik

Majalahaula.id – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai pemerintah perlu berhati-hati dalam pengelolaan anggaran negara terkait potensi pelemahan ekonomi akibat konflik di Timur Tengah.

Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga berada dalam trend melemah. Belum lagi, ada rencana kenaikan impor BBM menjadi 850.000 barrel per hari akibat penurunan produksi migas nasional.

Bhima menilai, adanya program harga gas murah untuk industri yang dikenal sebagai Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) akan semakin menambah beban pemerintah di masa depan dengan kondisi yang tidak pasti ini.

”Sebaiknya kebijakan insentif harga gas khusus (HGBT) perlu dievaluasi ulang. Pertama, memertimbangkan risiko geopolitik yang bisa mendorong harga gas lebih tinggi dan pelemahan kurs Rupiah,” ungkap Bhima kepada wartawan, Selasa (23/4/2024).

Baca Juga:  Gubernur DKI Jakarta Apresiasi NU dalam Penanganan Pandemi Covid-19

Bhima mengatakan, kenaikan harga gas, akan mendorong beban dari program HGBT meningkat sehingga risiko terhadap sektor migas menjadi lebih tinggi dan potensi kehilangan pendapatan negara menjadi lebih besar.

”Padahal APBN juga dibebani subsidi energi yang melebar,” ungkap Bhima.

Pertimbangan kedua mengapa program yang sudah berjalan sejak pandemi Covid-19 dijalankan yaitu pada 2020 ini tidak disarankan diteruskan adalah karena insentif melalui HGBT sejauh ini belum banyak dirasakan manfaatnya.

”Deindustrialisasi tetap terjadi. Porsi industri saat ini hanya di kisaran 18 persen dari PDB. Tujuan insentif gas agar tercapai proses industrialisasi ternyata bisa dibilang gagal,” ujar Bhima.

Pertimbangan ketiga, dari dampaknya terhadap serapan tenaga kerja. Bhima bilang, dengan adanya program HGBT terhadap sektor industri penerima, sejauh ini tidak banyak serapan tenaga kerja.

Baca Juga:  Pemerintah Gelar Expo Barsela di Abdya Aceh

Bhima menyatakan bahwa program HGBT tidak memiliki multiplier efek yang luas. Adapun upaya mendorong optimalisasi pasokan gas domestik yakni dengan menciptakan sistem yang lebih efisien. Mulai dari memangkas banyaknya rantai pasok termasuk trader hingga optimalisasi infrastruktur.

”Artinya, untuk mencapai harga gas domestik murah untuk industri bukan dengan cara insentif seperti sekarang,” ujar dia.

Berkaitan dengan subsidi energi, Bhima menyarankan agar saat ini tetap memprioritaskan dampak langsung kepada masyarakat untuk menjaga daya beli dan perekonomian secara umum, terutama BBM dan listrik serta LPG 3kg.

Seperti diketahui, nilai tukar rupiah saat ini telah menyentuh Rp 16.000 per dollar AS, dan dampak meningkatnya tensi geopolitik diperkirakan akan meningkatkan pula harga komoditas energi seperti minyak.

Baca Juga:  Kronologi Kisruh Pemerintah-Shell Terkait Blok Masela

Sebagai informasi, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengumumkan adanya potensi defisit akibat impor minyak masih terlihat. Sebab, Indonesia memproduksi sebanyak 600.000 barel per hari sedangkan impornya mencapai 840.000 barel per hari dengan rincian sebanyak 600.000 barel dalam bentuk BBM dan 240.000 barel adalah minyak mentah.

“Impor bersumber dari beberapa negara seperti Arab Saudi, Nigeria, dan beberapa lainnya. Karena mungkin dari beberapa negara itu yang paling kompetitif dalam menawarkan harga BBM-nya,” ujar Arifin.

 

 

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA