Majalahaula.id – Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa salah satu bentuk pendidikan nonformal adalah pendidikan kesetaraan.
Ketentuan itu dipaparkan oleh Anis Masykhur (Kasubdit Pendidikan Kesetaraan Pada Pondok Pesantren Salafiyah) tentang pendidikan kesetaraan diperuntukkan bagi anak bangsa yang tidak menginginkan menempuh pendidikan secara formal, dari situ santri tetap bisa mendapatkan tanda bukti telah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan. “Nomenklatur inilah yang diadopsi oleh Kementerian Agama untuk meng-‘afirmasi’ para santri pada Pondok Pesantren Salafiyah (PPS),” tuturnya.
Bisa dibilang bahwa pendidikan kesetaraan adalah sebuah program yang pada awalnya bersifat “emergency exit” bagi santri yang tidak sempat mengikuti pendidikan formal baik di sekolah maupun madrasah.
“Program ini diinisiasi mulanya pada tahun 2000 yang tertuang dalam Kesepakatan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor 1/U/KB/2000 dan Nomor MA/86/2000 tentang Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar 9 Tahun. Artinya, PPS adalah pendidikan nonformal tanpa proses “penyetaraan”pun sudah setara,” paparnya.
Pada 2018, nomenklatur pendidikan kesetaraan pada PPS dipilih sebagai metamorfosis dari pola paket, yang dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pendidikan kesetaraan ditempuh melalui pola paket A, B dan C.
Perlu diketahui, bahwa pola pendidikan pesantren salafiyah di awal-awal lebih dominan menggunakan model sorogan, bandongan atau halaqah. Setiap pesantren memiliki jenjang masa pembelajaran yang terbagi ke dalam ula (sama dengan SD), wustha (sama dengan SMP), dan ‘ulya (sama dengan SMA). Pesantren memiliki otonomi untuk memberikan nomenklatur apapun, namun saat itu ditetapkan masa belajarnya adalah minimal 4 tahun di jenjang ula, 2 tahun di jenjang wustha dan 2 tahun di jenjang ulya.
Selanjutnya, gabungan antara nomenklatur pendidikan kesetaraan dengan pola penjenjangan pada PPS, melahirkan sebuah nomenklatur yang disebut Pendidikan Kesetaraan pada Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS) Ula, Wustha dan Ulya. Hal itu tertuang dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3543 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan pada PPS.
Program PKPPS adalah bukti kepedulian dan kehadiran negara—melalui Kementerian Agama—terhadap anak bangsa yang juga sama-sama menimba ilmu pengetahuan.
Kehadiran program kesetaraan di lingkungan PPS tidak bisa disamakan dengan program kesetaraan di luar PPS, misal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau kelompok belajar jenis lainnya. Barangkali, jika seorang peserta didik yang tiba-tiba bergabung dengan PKBM di akhir setiap jenjang, tidak akan menimbulkan masalah. Karena PKBM memang memfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan tanda lulus atau sejenisnya secara formal.
Namun, pendidikan kesetaraan yang terintegrasi pada PPS tidak bisa demikian. Karena titik tekannya bukan pada ijazah, tapi proses mengikuti pendidikan di pesantren. Ini jelas paradigma yang berbeda. PPS menganut jalur “multi entry multi exit”, tapi dengan standar kualitas output standar kesantrian.
“Tentunya yang demikian itu juga tidak bisa dipisahkan dari target kompetensi di setiap jenjangnya di pesantren penyelenggara pendidikan kesetaraan. Jika sebuah PPS menargetkan pencapaian kompetensi tertentu pada setiap jenjangnya, maka target tersebut yang lebih dahulu dicapai, baru kemudian berupaya mendapatkan kesetaraan melalui program pendidikan kesetaraan,” pungkasnya.