Majalahaula.id – Tak bisa dipungkiri bahwa 17 Agustus 1945 sudah ditetapkan sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Dan untuk sampai kepada deklarasi pengucapan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia tentu membutuhkan perjuangan yang luar biasa, mempertaruhkan darah dan nyawa dari seluruh pahlawan kita. Orang-orang yang telah gugur berjuang mempertahankan negara ini bisa kita sebut sebagai orang-orang yang sahid (min al-syuhada’). Allah Swt. berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتًا ۗ بَلْ اَحْيَآءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
Artinya: “Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169).
Sudah sekian lama ulama-ulama kita yang memperjuangkan berdirinya negara ini meninggalkan kita. Mulai dari Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Ahmad Dahlan, Soekarnao, Haji Agus Salim, Pangeran Diponegoro dan lainnya. Merekalah yang meletakkan pondasi berdirinya negara ini.
Jika hari ini kita hidup damai-tentram dan bisa beribadah tidak dalam tekanan senjata ancaman para penjajah, itu semua adalah karena jerih payah para leluhur yang telah gugur. Sungguh besar pahala yang diberikan Allah Swt. kepada orang-orang yang berjasa membangun Negara Kesatuan Repulik Indonesia.
Memang kita tahu, setelah teks proklamasi dibacakan negara ini tidak dinyatakan sebagai negara agama, akan tetapi jika diperhatikan seluruh sila-sila di dalam Pancasila tidak satu pun diantaranya yang bertentangan dengan syariat Islam (yukhalif al-syariah al-islamiyah). Bahkan jika kita cocokkan dengan al-Quran dan Hadits, lima sila di dalam Pancasila itu bukan hanya tidak betentangan, melainkan sesuai dengan syariat Allah Swt. (tuwafiq al-syariah al-islamiyah).
Bukan hanya Pancasila. Kalau kita telisik di dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, beberapa diantaranya kita temukan sebagai modifikasi dari hadits-hadits yang disabdakan Rasulullah Saw. 1400 tahun yang lalu Nabi telah menyampaikan:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ اللُّؤْلُؤِيُّ أَخْبَرَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ حِبَّانَ بْنِ زَيْدٍ الشَّرْعَبِيِّ عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَرْنٍ ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ حَدَّثَنَا أَبُو خِدَاشٍ وَهَذَا لَفْظُ عَلِيٍّ عَنْ رَجُلٍ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ غَزَوْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا أَسْمَعُهُ يَقُولُ الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami (Ali bin Al Ja’dan Al Lu’lui) telah mengabarkan kepada kami (Hariz bin Utsman) dari (Hibban bin Zaid Asy Syar’i) dari (seorang laki-laki Qarn). (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami (Musaddad) telah menceritakan kepada kami (Isa bin Yunus) telah menceritakan kepada kami (Hariz bin Utsman) telah menceritakan kepada kami (Abu Khidasy) dan ini adalah lafazh Ali, dari (seorang laki-laki Muhajirin) sahabat Nabi Saw., ia berkata, “Aku pernah berperang bersama Nabi Saw. tiga kali, aku mendengar beliau bersabda: “Orang-orang Muslim bersekutu dalam hal rumput, air dan api.” (Hadits Abu Daud Nomor 3016).
Di dalam Undang-Undang Dasar Ayat (3) Pasal 33 UUD 1945, kita menemukan bahwa: “… Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat…”.
Jika Indonesia tidak secara formal disebut sebagai negara agama, tetapi hakikatnya nilai-nilai agama yang ada dalam negara itu sudah termaktub di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Memang sebagiannya secara verbatim tidak bisa diambilkan dari al-Quran dan Sunnah. Karena mengatur negara itu termasuk dalam kategori bidang muamalah. Ibnu Aqil menyatakan:
ابْنُ عَقِيلٍ: السِّيَاسَةُ مَا كَانَ فِعْلًا يَكُونُ مَعَهُ النَّاسُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ، وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ، وَإِنْ لَمْ يَضَعْهُ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ
Artinya: “Kebijakan politik dan ketentuan peraturan perundang-undangan jika itu memberikan dampak kemaslahatan, menjauhkan diri kita dari kemafsadatan, sekalipun tidak dicontohkan Rasulullah dan tidak ditetapkan al-Quran itu adalah syar’i.”
Itu sebabnya, pemilihan Presiden secara langsung tidak bertentangan dengan syariah. Karena al-Quran dan Hadits tidak mengatur dan membicarakannya. Tidak ada dalil yang melarang untuk pemilihan Presiden secara langsung. Tidak adanya dalil adalah sebuah dalil bagi bolehnya memilih Presiden secara langsung. Itulah yang disebut dalam kaidah fikih:
عدم الدليل هو الدليل
Artinya: “Tidak adanya dalil adalah itulah dalil”.
Jelasnya, tidak adanya dalil adalah dalil bagi bolehnya pengaturan urusan-urusan muamalah, politik dan kebijakan publik. Dalam hal ini, hanya dalam urusan ibadah kita membutuhkan sebuah dalil. Bukan karena iman kita sedang surplus, seakan rasanya shalat Jum’at dua rakaat tidak cukup sehingga kita ingin menambahkan menjadi empat rakaat.
Memang tidak ada dalil yang melarang karena ini menyangkut bidang ibadah. Artinya, tidak adanya dalil yang melarang itu tidak cukup, melainkan harus ada dalil yang menyuruh. Karena tidak dalil yang menyuruh untuk menambah rakaat shalat Jum’at dari dua menjadi empat, maka itu tidak diperbolehkan. Karena tidak adanya dalil bukan dalil di dalam ibadah mahdah.
Masih tentang kemerdekaan. Puluhan tahun kita sudah merdeka. Jika dahulu para pahlawan berani menyatakan:
وفي رواية البيهقي: قالوا وما الجهاد الأكبر؟ قال: جهاد القلب. ورواه الخطيب البغدادي بلفظ: رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر قالوا: وما الجهاد الأكبر؟ قال: جهاد القلب ورواه الخطيب البغدادي بلفظ: رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر قالوا: وما الجهاد الأكبر؟ قال: مجاهدة العبد هواه، وقد روياه جميعًا عن جابر كذا في كشف الخفاء
“Kita pulang dari jihad yang kecil menuju kepada jihad besar.” Jihad kecil adalah qital (perang), dan jihad besar adalah jihad al-nafs, jihad untuk melawan egoisme dan dorongan hawa nafsu kita sendiri. Jika seluruh para pemangku kebijakan melakukan jihad al-nafs, maka Indonesia akan mendekati angka nol dari bebas tindakan korupsi di dalamnya.
Akan tetapi tidak cukup hanya berupa tindakan pasif seperti jihad al-nafs, mengisi kemerdekaan Republik Indonesia harus diupayakan dalam bentuk menegembangkan negara ini (tanmiyatul watan). Lebih dari itu, membangun tata Indonesia yang baru dan membangun peradaban baru (al-bina’ al-andalusia al-hadits), sehingga Indonesi ke depan menjadi negara baldatun tayyibatun warabbun ghafur. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.