Search

Sejumlah Hal yang Hendaknya Disiapkan Calon Haji

Majalahaula.id – Ada sejumlah hal yang hendaknya menjadi perhatian calon jamaah haji dari Tanah Air. Hal tersebut tentu saja demi memastikan kelancaran dan terhindarnya dari sejumlah kendala saat di lapangan.

Salah satunya adalah jamaah haji Indonesia harus berjalan kaki menyusuri jalan dari Mina (tenda penginapan) sampai dengan lokasi melempar jumrah (jamarat) sepanjang 4,5 kilometer. Jika dihitung perjalanan pulang-pergi, jamaah harus berjalan kaki sepanjang 9 kilometer.

Apabila jamaah mengambil nafar awal dengan tiga hari berangkat, membutuhkan jarak tempuh total 27 kilometer. Begitu pula pada saat sa’i, satu kali jalan dari Shafa ke Marwah jaraknya sepanjang 400 kilometer dikalikan tujuh, maka jarak yang ditempuh total menjadi 2,8 kilometer. Belum lagi thawaf yang jauh dekatnya sangat bergantung dengan kepadatan jamaah yang berpengaruh pada jauh dekatnya jamaah saat mengitari Ka’bah.

Baca Juga:  Puncak Hari Santri Digelar di Surabaya, Jokowi sebagai Inspektur Upacara

Menyikapi kebutuhan medan seperti itu, Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Barat H Ajam Mustajam berharap tenaga pembimbing haji harus mempunyai tenaga prima. Hal ini ia sampaikan pada saat membuka acara Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji Profesional yang diselenggarakan atas kerjasama Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) dengan Ditjen PHU Kemenag Provinsi Jawa Barat dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon di Asrama Haji Indramayu, 17-24 Februari 2024.  “Dari thawaf itu berapa kilo, sa’i berapa kilo, dari Mina ke Jamarat itu total berapa kilo, mestinya ini peserta dilatih setiap hari, latihan jalan sepanjang itu,” kata Ajam.

Pada kesempatan yang sama, Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon Prof H Aan Jaelani mengingatkan bahwa definisi istitha’ah (mampu menjalankan ibadah haji) yang banyak difahami oleh masyarakat luas adalah kemampuan secara finansial saja. Masyarakat tidak terlalu banyak yang memperhatikan bahwa istitha’ah juga meliputi kesehatan secara fisik.  “Dahulu kita memaknai konteks manis tatha’a itu biaya, namun sekarang istatha’a (juga) bermakna kesehatan, meskipun di berbagai tafsir sudah dibahas bahwa manis tatha’a itu bil mal juga bil badan,” tandasnya. (Ful)

Baca Juga:  NU dan Muhammadiyah Berharap Semua Pihak Menerima Hasil Pemilu

 

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA