Majalahaula.id – Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Pasuruan menggelar seminar internasional dengan tema ‘Transformation of Education towards Excellent Campus in Inclusive Technology: Innovation, Collaboration, and Social Impact’ di Inna Tretes Hotel Pasuruan, Jumat (26/01/2024).
Seminar yang dikuti kurang lebih 103 orang yang hadir secara offline dan 280 orang yang hadir secara online melalui zoom, ini menghadirkan 3 narasumber di antaranya, Associate Prof. Dr Nor Balkish Zakaria Lektor Universitas Teknologi MARA (UITM) Malaysia, Yuanas seorang petani sukses di Jepang, dan Dr rer.Pol M.Faishal Aminuddin, S.S., M.Si tentang Epistimologi Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama.
Abuamar Bustomi, M.Si selaku Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Pasuruan menyampaikan, seminar internasional itu merupakan bagian dari rangkaian launching atas di SK nya UNU Pasuruan yang sebelumnya bernama Institut Teknologi dan Sains Nahdlatul Ulama (ITS NU) Pasuruan.
Institut Teknologi dan Sains Nahdlatul Ulama Pasuruan secara resmi berdiri pada tanggal 31 Januari 2018 berdasarkan SK Kemenristekdikti Nomor 37/KPT/I/2018 dengan nama Institut Teknologi dan Sains Nahdlatul Ulama (ITSNU) Pasuruan.
“Mohon doa restu mudah-mudahan kolaborasi dan kerja sama kami dalam berhikmad untuk pendidikan tinggi selalu mendapatkan ridho dan naungan dari Allah SWT,” ungkapnya.
Dalam seminar internasional itu, salah satu pembicara Faisal Aminuddin menyampaikan, standar modernitas, Ada yang namanya pos modernitas, ini di Universitas Nahdlatul Ulama mencoba untuk mendasarkan pada aspek yang pertama dari kelembagaan.
PBNU sebagai tempat bernaung LPT sebagai pemilik berkepentingan bahwa siapapun yang masuk di Institut pendidikan tinggi harus memiliki atau paling tidak mengenal prinsip-prinsip dasar yang dipegang oleh NU yaitu Ahlussunah Wal Jam’ah An Nahliyah.
“Pertanyaannya bagaimana kita mentransformasikan Ahlussunah Wal Jam’ah An Nahliyah tapi diambil nilai publiknya, yang memiliki relevansi dan berlaku universal. Sehingga orang yang non muslim yang kuliah di UNU Pasuruan sekalipun mendapat inside dari situ. Jadi, tidak harus memberikan label tapi value atau nilai yang kemudian kita sampaikan,” ujarnya.
Faisal lebih lanjut mengatakan, yang kedua sejauh mana kampus memberikan kebebasan terhadap sivitas akademika untuk mengembangkan dirinya. Ia mencontohkan, orang yang belajar teknik di Indonesia tidak pernah belajar mengenai kritikal. Sehingga, mereka menganggap bahwa ada perbedaan antara keyakinan, agama dengan apa yang dilakukan sebagai profesi, maka tidak heran kalau ada ahli komputer berpikir sangat ekstrim. Kenapa itu bisa terjadi? Karena mereka tidak punya dasar, tidak punya pegangan.
“Sesuatu yang mekanis itu tidak akan memberikan potensi pada lompatan peradaban, karena peradaban itu selalu dimulai dari pemikiran. Ini yang kemudian menjadi berkah bagi kita semua. Kita ada forum besar seperti bahtsul masail, punya ilmuan NU yang kemudian bisa sharing di situ,” ungkapnya.
Faisal menjelaskan, yang ketiga ini berhubungan dengan kepentingan mahasiswa yang lulus. Ia mencontohkan Universitas Katolik Leuven di Belgia. Mereka tidak menaruh perhatian mengenai latar belakang mahasiswa, siapapun boleh belajar di sana, tetapi ada hal penting yang ditanamkan ketika dalam proses kuliah. Mulai dari semester pertama atau kedua, selebihnya ada subjek yang bebas, harapannya sedikit mempengaruhi karakter mahasiswa ketika lulus dari universitas.
“Tiga hal itulah yang dicoba, diformulasikan dalam pengembangan strategi psikologi perguruan tinggi agar tidak terlihat memaksa. Ini yang akan kita selesaikan di Universitas Nahdlatul Ulama,” tuturnya.*Lina